Oleh: Andika Jaka
Demokrasi Liberal
Kita tahu bahwa istilah Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang artinya 'rakyat' dan kratos/cratein yang artinya 'pemerintahan'. Jadi Demokrasi bisa dikatan sebuah pemerintahan rakyat, atau biasa yang kita tahu adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi juga merupakan dimana dalam suatu pemerintahan itu dipegang oleh rakyat, dan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Sedangkan istilah dari Liberalisme adalah suatu paham atau ideologi dimana paham tersebut menekankan adanya kebebasan hak individu dalam berbagai hal. Liberalisme sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu, baik itu kebebasan dalam bidang politik, ekonomi, agama, sosial, dan lain-lain. Pada intinya Liberalisme adalah paham sebuah ideologi yang didasarkan pada kebebasan dan persamaan hak dimana hak tersebut merupakan nilai politik yang utama.
Dari dua pengertian diatas, dapat diketahui makna dari Demokrasi Liberal. Demokrasi liberal merupakan sistem politik pemerintahan dimana adanya suatu kebebasan yang diberikan kepada setiap warga Negara atau rakyat dalam melakukan segala tindakan selama tindakan tersebut masih merupakan bagian dari hak-hak individu dan tidak melanggar ketentuan konstitusi atau hukum dalam suatu Negara tersebut. Penekanan dalam konsep demokrasi liberal adalah lebih kepada institusinya. Dalam demokrasi liberal, perpolitikan tidak boleh disangkutpautkan dengan latar belakang agama, ras, jenis kelamin, dan segala hal yang bersifat primordial.[1]
Dari dua pengertian diatas, dapat diketahui makna dari Demokrasi Liberal. Demokrasi liberal merupakan sistem politik pemerintahan dimana adanya suatu kebebasan yang diberikan kepada setiap warga Negara atau rakyat dalam melakukan segala tindakan selama tindakan tersebut masih merupakan bagian dari hak-hak individu dan tidak melanggar ketentuan konstitusi atau hukum dalam suatu Negara tersebut. Penekanan dalam konsep demokrasi liberal adalah lebih kepada institusinya. Dalam demokrasi liberal, perpolitikan tidak boleh disangkutpautkan dengan latar belakang agama, ras, jenis kelamin, dan segala hal yang bersifat primordial.[1]
Awal Kelahiran Demokrasi Liberal
Demokrasi liberal muncul pada Abad
pencerahan yang dibawa oleh pemikir-pemikir liberal seperti Thomas Hobbes
dengan konsep atau teori kotrak sosialnya, John Locke, dan Jean J. Rousseau. Dimana
pada abad pencerahan ini merupakan zaman dimana terciptanya kebebasan individu
dalam berpikir setelah terbelenggu dalam zaman kegelapan atau dark age yang pada saat itu kebebasan individu sangat
dikekang dan dibatasi oleh gereja. Dengan ini manusia merasa bebas dan tidak
lagi terbatasi oleh kuasa apapun yang ingin menentangnya. Pada dasarnya disini
manusia mulai sadara akan pentingnya hak atas kebebasan dan kemerdekaan hak
dalam hidup serta hak dalam memiliki, melakukan sesuatu dalam berbagai hal.
Demokrasi Liberalisme muncul karena
adanya pengekangan dan penindasan dari Raja Eropa dan Gereja di Eropa pada saat
zaman kegelapan. Dimana Raja mendeklarasikan dirinya bahwa Raja adalah utusan
Tuhan untuk mengatur kekuasaan dan kehidupan di Bumi. Sehingga Raja dan pihak
gereja dengan kekuasaanya mengatur segala kehidupan rakyat, mengatur
pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya yang berhubungan dengan
kehidupan dalam Negara tersebut, dan rakyat tidak mempunyai kuasa apapun untuk
ikut campur dalam menjalankan pemerintahan.
Pengekangan dan penindasan dari
pihak Raja dan Gereja inilah yang membuat seluruh rakyat melakukan perlawanan.
Melalui para pemikir seperti John Locke dan Thomas Hobbes, ide liberalisme yang
menjunjung tinggi nilai kebebasan kepada rakyat inilah yang akhirnya berkembang
menjadi demokrasi liberal. Dengan denokrasi liberal rakyat bebas memiliki
hak-hak asasi seperti mendapatkan hak hidup, hak beragama, hak berpikir, dan
hak dalam ikut campur menjalankan sistem pemerintahan dalam suatu Negara
tersebut.
Pada saat itu, ketika demokrasi
liberal muncul, maka kekuasaan Raja Eropa dan gereja dibatasi. Dimana kekuasaan
Raja hanya merupakan symbol dari Negara tetapi tidak berhak mengatur atas masalah
pemerintahan Negara dan rakyat. Sedangkan Gereja kekuasaannya dibatasi dengan
kekuasaan gereja dipisah dengan pemerintahan, dimana gereja hanya berkuasa
dalam mengatur tentang masalah agama dan dilarang turut ikut campur dalam menjalankan
dan mengatur pemerintahan. Pemisahan kekuasaan inilah yang menandakan bahwa
masa/zaman kegelapan berakhir dan mulailah zaman pencerahan ‘renaisance’ dengan munculnya demokrasi
liberal.
Substansi Teori
Inti
dari teori demokrasi liberal adalah pemberian kebebasan atau kesetaraan
hak masing-masing individu dalam
menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi liberal menyerahkan
kedaulatan di tangan rakyat dengan mengindahkan prinsip rule of law, kesejahteraan, dan penghargaan terhadap HAM.[2]
Seperti
menurut teori kontrak sosial, liberalisme mengeksplorasi ruang keleluasaan
privat (yang mencakup kesadaran, keluarga, dan opini) yang tidak boleh dicampur
tangani oleh pemerintah atau negara sekalipun.[3] Dan dimana John Locke
mengemukakan bahawa kekuasaan negara bukan dari Allah (Tuhan), melainkan
berasal dari rakyat yang sepakat mengadakan perjanjian bersama (social contract) untuk membentuk negara.[4] Disini dapat disimpulkan
bahwa dalam suatu negara kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, dan negara
yang berasal dari rakyat tersebut harus berpihak pada rakyat dan dapat
melindungi hak-hak dan kepentingan rakyatnya.
Negara Penganut Demokrasi Liberal
Negara yang pernah ataupun masih menganut Demokrasi liberal seperti Jerman,
Perancis, dan Inggris sejak demokrasi liberal muncul pada awal abad 18.
Kemudian penganut demokrasi liberal lainnya seperti Amerika Serikat, dan Indonesia juga pernah menganut demokrasi
liberal atau yang lebih dikenal dengan demokrasi parlementer setelah adanya
maklumat pemerintah No.14 November 1945.
[1] Adhi Prayoga. 2009. Aristokrasi
Ubermensech. Hlm. 13.
[2] Ahmad Nurullah dan Satrio Wahono. 2012. Krisis Global, Demokrasi Iiberal, Fasisme Liberal. Jurnal Nasional.
http://www.jurnas.com/halaman/10/2012-05-07/208184
, diakses 02 Oktober 2013.
[3] Anthonius Sitepu. 2012. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: Graha
Ilmu. Hlm. 160
[4] Ibid. Hlm. 172
Tidak ada komentar:
Posting Komentar