Agresi Militer Belanda I
Agresi Militer Belanda I disebabkan karena adanya
perselisihan pendapat akibat perbedaan penafsiran dalam melaksanakan Perjanjian
Linggarjati menimbulkan konflik antara Indonesia dan Belanda. Belanda
berpatokan pada pidato Ratu Wilhelmina pada 7 Desember 1942 bahwa Indonesia
akan dijadikan anggota Commonwealth negeri Belanda.
Pada 27 Mei 1974, Belanda mengeluarkan nota protes
berupa ultimatum yang harus dijawab pemerintah Indonesia dalam waktu 14 hari. Nota
ultimatum tersebut dibalas oleh pemerintah Indonesia dengan penolakan yang
disampaikan oleh Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin. Karena tidak mencapai
kesepakatan terhadap nota tersebut, akibatnya pada 21 Juli 1947, tengah malam,
Belanda melancarkan serangan ke seluruh daerah di Republik Indonesia. Operasi
yang diberi label “aksi polisional” itu sebenarnya adalah sebuah agresi militer
yang dikenal sebagai Agresi Militer I.
Pasukan-pasukan Belanda bergerak dari Jakarta dan
Bandung untuk menguasai Jawa Barat dan dari Surabaya untuk menguasai Madura dan
wilayah Jawa Timur serta satu pasukan lagi untuk menduduki Semarang. Dengan
demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan dalam di Jawa. Sedangkan di
Sumatra, pasukan belanda berusaha menguasai perkebunan-perkebunan di sekitar
Medan. Instalasi miyak dan batu bara di Palembang dan disekitarnya juga
diserang dan dikuasai.
Pasukan TNI memutuskan mundur ke pedalaman sambil
menjalaankan taktik bumi hangus dan taktik gerilya. Sistem wehrkreise (lingkaran pertahanan) diterapkan untuk menggantikan
sistem pertahanan linier. Dengan taktik itu, Belanda hanya mampu bergerak di
kota-kota dan di jalan raya. Sementara itu, wilayah/ daerah pedalaman lainnya
dikuasai sepenuhnya oleh TNI.
Seranagan Belanda ini menimbulkan reaksi
internasional. Pada tanggal 31 Juli 1947 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan
resolusi yang mendesak agar kedua belah pihak segera menghentikan pertempuran
dan mengadakan perundingan. Sesuai dengan resolusi tersebut, tanggal 4 Agustus
1947 Presiden Sukarno dan Jenderal Spoor sebagai panglima tentara Belanda di
Indonesia, mengeluarkan perintah penghentian tembak-menemabak.
Agresi Militer II
Sehubungan dengan gencatan senjata antara Belanda
dan Indonesia, tanggal 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk Komisi Konsuler
dan Komisi Jasa Baik (KTN) yang bertugas membantu penyelesaian sengketa antara
Belanda dan Indonesia. Kemudian tanggal 8 Desember 1947, KTN membawa Indonesia
dan Belanda untuk melaksanakan perundingan Renville.
Situasi dalam negeri Indonesia yang sedang
menghadapi pemberontakan PKI pada saat itu, dapat dimanfaatkan oleh Belanda.
Pada 18 Desember 1948 malam, Dr. Beel memberitahukan kepada delegasi RI dan
Komisi Tiga Negara (KTN) bahwa Belanda tidak lagi terikat dan tidak mengakui
Persetujuan Renville. Keesokan harinya, tanggal 19 Desember 1948 Belanda
melancarkan agresi militer yang kedua kalinya. Sasaran Belanda langsung
ditujukan untuk menguasai ibu kota RI di Yogyakarta. Dengan taktik perang
kilat, Belanda juga menyerang wilayah RI lainnya.
Serangan diawali dengan penerjunan pasukan payung
di Pangkalan Udara Maguwo (Adisucipto) dan pengeboman beberapa tempat di
Yogyakarta. Dalam waktu singkat, pasukan Belanda berhasil menguasai Yogyakarta
sebagai ibu kota RI saat itu. Pimpinan dan beberapa pejabat tinggi, seperti presiden, wakil
presiden, kepala staf angkatan udara, dan beberapa pejabat tinggi leinnya
ditawan oleh Belanda. Presiden Sukarno diasingkan di Parapat (Sumatra Utara)
kemudian ke Bangka. Wakil Presiden Mohammad Hatta dibuang ke Bangka.
Sebelum Sukarno ditangkap, kabinet sempat
bersidang di Istana Presiden pada pagi hari, 19 Desember 1948. Sidang
memutuskan bahwa bila terjadi sesuatu pada pimpinan nasional, pemerintah akan
memberikan mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Rakyat
yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI
(PDRI). Bila pembentukan PDRI juga gagal, akan dibentuk pemerintahan RI di
pengasingan. Untuk itu akan diberi kewenangan kepada Mr. A.A. Maramis (Menteri
Keuangan), L.N. Palar dan Dr. Sudarsono yang berada di New Delhi, India.
Sebenarnya, dalam sidang juga diusulkan agar para
pimpinan tinggi negara mengungsi keluar kota bersama-sama dengan rakyat. Namun,
presiden dan wakil presiden memutuskan akan tetap tinggal di kota dengan
kemungkinan ditawan. Hal itu dilakukan sebagai titik agar bisa dekat dengan KTN
sehingga mudah mengadakan perundingan. Sementara itu, seluruh kekuatan TNI akan
ke luar kota dan melakukan perlawanan dengan cara gerilya. Panglima Besar Jenderal
Sudirman yang sedang sakit parah memutuskan untuk tetap memimpin perang
gerilya.
Wilayah pertahanan RI dibagi dua, yaitu Komando
Jawa dan Komando Sumatra. Di Jawa, dibentuk Markas Besar Komando Djawa di bawah
pimpinan Kolonel A.H. Nasution, sedangkan di Sumatra dibentuk Markas Besar
Komando Sumatra di bawah pimpinan Kolonel Hidayat. Berdasarkan pengalaman
sewaktu agresi militer pertama, sistem pertahanan Republik Indonesia diubah
dari sistem linier menjadi sistem wehrkreise (lingkaran pertahanan). Di samping
itu, pasukan TNI juga diperintahkan untuk melakukan wingate, yang artinya melakukan penyusupan kembali ke daerah yang
telah diduduki musuh dan melakukan perang gerilya.
Agresi militer Belanda kedua ini telah menarik
perhatian dunia internasional. KTN yang mendapat tugas mengawasi pelaksanaan
Prjanjian Renville mengetahui Belanda telah melanggar persetujuan tersebut. Akibatnya,
Amerika Serikat mengeluarkan resolusi yang disetujui oleh semua anggota sidang
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) pada 28 Januari 1949.
Resolusi Dewan Keamanan PBB, antara lain berbunyi sebagai berikut :
1. Penghentian semua operasi militer dengan segera oleh Belanda dan penghentian
semua aktivitas gerilya oleh republik.
2. Pembebasan dengan segera dan tanpa syarat
semua tahanan politik di dalam daerah Republik oleh Belanda.
3. Belanda harus memberikan kesempatan kepada
para pejabat Republik untuk kembali dengan segera ke Yogyakarta. Hal itu
dilakukan agar pasal 1 di atas terlaksana dan supaya mereka dapat melaksanakan
tugas mereka dengan bebas. Pada tingkat pertama, pemerintah di kota Yogyakarta
dan daerah sekelilingnya. Lalu, secara berangsur-angsur, di daerah-daerah
republik lainnya berdasarkan persetujuan Renville juga dilakukan penghentian
semua operasi militer dan aktivitas gerilya.
4. Perundingan akan segera dilakukan
berdasarkan Persetujuan Linggarjati, Renville, dan pembentukan pemerintahan
sementara yang berbentuk federal, paling lambat 15 Maret 1949. Pemilihan dewan
pembuat UUD negara Indonesia Serikat paling lambat 1 Juli 1949.
5. Komisi Tiga Negara diganti namanya menjadi
Komisi PBB untuk Indonesia UNCI (United Nations Commisson for Indonesia) dengan
tugas membantu kelancaran perundingan berkaitan dengan pengambilan kekuasaan
pemerintah Republik, dan menganati proses pemilihan serta berhak mengajukan
usulan demi membantu proses penyelesaian.
Amerika Serikat juga mengancam akan menghentikan
bantuan kepada Belanda, seperti yang termuat dalam Marshall Plan (bantuan
Amerika Serikat kepada negara-negara yang menderita akibat Perang Dunia II).
Atas dorongan UNCI sebagai pengganti KTN, pada
tanggal 17 April hingga 7 Mei 1949 diadakan perundingan Roem-Royen yang
akhirnya dapat dikatakan sebagai akhir dari Agresi Militer Belanda II.
Sumber: Magdalia, dkk, Sejarah untuk SMA dan MA Kelas XII IPS
(Jakarta: Esis), 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar