Pages

Selasa, 23 April 2013

Agresi Militer Belanda I dan II


Agresi Militer Belanda I

Agresi Militer Belanda I disebabkan karena adanya perselisihan pendapat akibat perbedaan penafsiran dalam melaksanakan Perjanjian Linggarjati menimbulkan konflik antara Indonesia dan Belanda. Belanda berpatokan pada pidato Ratu Wilhelmina pada 7 Desember 1942 bahwa Indonesia akan dijadikan anggota Commonwealth negeri Belanda.
Pada 27 Mei 1974, Belanda mengeluarkan nota protes berupa ultimatum yang harus dijawab pemerintah Indonesia dalam waktu 14 hari. Nota ultimatum tersebut dibalas oleh pemerintah Indonesia dengan penolakan yang disampaikan oleh Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin. Karena tidak mencapai kesepakatan terhadap nota tersebut, akibatnya pada 21 Juli 1947, tengah malam, Belanda melancarkan serangan ke seluruh daerah di Republik Indonesia. Operasi yang diberi label “aksi polisional” itu sebenarnya adalah sebuah agresi militer yang dikenal sebagai Agresi Militer I.
Pasukan-pasukan Belanda bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menguasai Jawa Barat dan dari Surabaya untuk menguasai Madura dan wilayah Jawa Timur serta satu pasukan lagi untuk menduduki Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan dalam di Jawa. Sedangkan di Sumatra, pasukan belanda berusaha menguasai perkebunan-perkebunan di sekitar Medan. Instalasi miyak dan batu bara di Palembang dan disekitarnya juga diserang dan dikuasai.
Pasukan TNI memutuskan mundur ke pedalaman sambil menjalaankan taktik bumi hangus dan taktik gerilya. Sistem wehrkreise (lingkaran pertahanan) diterapkan untuk menggantikan sistem pertahanan linier. Dengan taktik itu, Belanda hanya mampu bergerak di kota-kota dan di jalan raya. Sementara itu, wilayah/ daerah pedalaman lainnya dikuasai sepenuhnya oleh TNI.
Seranagan Belanda ini menimbulkan reaksi internasional. Pada tanggal 31 Juli 1947 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mendesak agar kedua belah pihak segera menghentikan pertempuran dan mengadakan perundingan. Sesuai dengan resolusi tersebut, tanggal 4 Agustus 1947 Presiden Sukarno dan Jenderal Spoor sebagai panglima tentara Belanda di Indonesia, mengeluarkan perintah penghentian tembak-menemabak.

Agresi Militer II

Sehubungan dengan gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia, tanggal 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk Komisi Konsuler dan Komisi Jasa Baik (KTN) yang bertugas membantu penyelesaian sengketa antara Belanda dan Indonesia. Kemudian tanggal 8 Desember 1947, KTN membawa Indonesia dan Belanda untuk melaksanakan perundingan Renville.
Situasi dalam negeri Indonesia yang sedang menghadapi pemberontakan PKI pada saat itu, dapat dimanfaatkan oleh Belanda. Pada 18 Desember 1948 malam, Dr. Beel memberitahukan kepada delegasi RI dan Komisi Tiga Negara (KTN) bahwa Belanda tidak lagi terikat dan tidak mengakui Persetujuan Renville. Keesokan harinya, tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresi militer yang kedua kalinya. Sasaran Belanda langsung ditujukan untuk menguasai ibu kota RI di Yogyakarta. Dengan taktik perang kilat, Belanda juga menyerang wilayah RI lainnya.
Serangan diawali dengan penerjunan pasukan payung di Pangkalan Udara Maguwo (Adisucipto) dan pengeboman beberapa tempat di Yogyakarta. Dalam waktu singkat, pasukan Belanda berhasil menguasai Yogyakarta sebagai ibu kota RI saat itu. Pimpinan dan beberapa  pejabat tinggi, seperti presiden, wakil presiden, kepala staf angkatan udara, dan beberapa pejabat tinggi leinnya ditawan oleh Belanda. Presiden Sukarno diasingkan di Parapat (Sumatra Utara) kemudian ke Bangka. Wakil Presiden Mohammad Hatta dibuang ke Bangka.
Sebelum Sukarno ditangkap, kabinet sempat bersidang di Istana Presiden pada pagi hari, 19 Desember 1948. Sidang memutuskan bahwa bila terjadi sesuatu pada pimpinan nasional, pemerintah akan memberikan mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Rakyat yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI). Bila pembentukan PDRI juga gagal, akan dibentuk pemerintahan RI di pengasingan. Untuk itu akan diberi kewenangan kepada Mr. A.A. Maramis (Menteri Keuangan), L.N. Palar dan Dr. Sudarsono yang berada di New Delhi, India.
Sebenarnya, dalam sidang juga diusulkan agar para pimpinan tinggi negara mengungsi keluar kota bersama-sama dengan rakyat. Namun, presiden dan wakil presiden memutuskan akan tetap tinggal di kota dengan kemungkinan ditawan. Hal itu dilakukan sebagai titik agar bisa dekat dengan KTN sehingga mudah mengadakan perundingan. Sementara itu, seluruh kekuatan TNI akan ke luar kota dan melakukan perlawanan dengan cara gerilya. Panglima Besar Jenderal Sudirman yang sedang sakit parah memutuskan untuk tetap memimpin perang gerilya.
Wilayah pertahanan RI dibagi dua, yaitu Komando Jawa dan Komando Sumatra. Di Jawa, dibentuk Markas Besar Komando Djawa di bawah pimpinan Kolonel A.H. Nasution, sedangkan di Sumatra dibentuk Markas Besar Komando Sumatra di bawah pimpinan Kolonel Hidayat. Berdasarkan pengalaman sewaktu agresi militer pertama, sistem pertahanan Republik Indonesia diubah dari sistem linier menjadi sistem wehrkreise (lingkaran pertahanan). Di samping itu, pasukan TNI juga diperintahkan untuk melakukan wingate, yang artinya melakukan penyusupan kembali ke daerah yang telah diduduki musuh dan melakukan perang gerilya.
Agresi militer Belanda kedua ini telah menarik perhatian dunia internasional. KTN yang mendapat tugas mengawasi pelaksanaan Prjanjian Renville mengetahui Belanda telah melanggar persetujuan tersebut. Akibatnya, Amerika Serikat mengeluarkan resolusi yang disetujui oleh semua anggota sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) pada 28 Januari 1949.

Resolusi Dewan Keamanan PBB, antara lain berbunyi sebagai berikut :
1.      Penghentian semua operasi militer  dengan segera oleh Belanda dan penghentian semua aktivitas gerilya oleh republik.
2.      Pembebasan dengan segera dan tanpa syarat semua tahanan politik di dalam daerah Republik oleh Belanda.
3.      Belanda harus memberikan kesempatan kepada para pejabat Republik untuk kembali dengan segera ke Yogyakarta. Hal itu dilakukan agar pasal 1 di atas terlaksana dan supaya mereka dapat melaksanakan tugas mereka dengan bebas. Pada tingkat pertama, pemerintah di kota Yogyakarta dan daerah sekelilingnya. Lalu, secara berangsur-angsur, di daerah-daerah republik lainnya berdasarkan persetujuan Renville juga dilakukan penghentian semua operasi militer dan aktivitas gerilya.
4.      Perundingan akan segera dilakukan berdasarkan Persetujuan Linggarjati, Renville, dan pembentukan pemerintahan sementara yang berbentuk federal, paling lambat 15 Maret 1949. Pemilihan dewan pembuat UUD negara Indonesia Serikat paling lambat 1 Juli 1949.
5.      Komisi Tiga Negara diganti namanya menjadi Komisi PBB untuk Indonesia UNCI (United Nations Commisson for Indonesia) dengan tugas membantu kelancaran perundingan berkaitan dengan pengambilan kekuasaan pemerintah Republik, dan menganati proses pemilihan serta berhak mengajukan usulan demi membantu proses penyelesaian.

Amerika Serikat juga mengancam akan menghentikan bantuan kepada Belanda, seperti yang termuat dalam Marshall Plan (bantuan Amerika Serikat kepada negara-negara yang menderita akibat Perang Dunia II).
Atas dorongan UNCI sebagai pengganti KTN, pada tanggal 17 April hingga 7 Mei 1949 diadakan perundingan Roem-Royen yang akhirnya dapat dikatakan sebagai akhir dari Agresi Militer Belanda II.






Sumber: Magdalia, dkk, Sejarah untuk SMA dan MA Kelas XII IPS (Jakarta: Esis), 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar