Pages

Selasa, 12 November 2013

Analisis Perbedaan Teori Struktur Sosial Emile Durkheim dengan Teori Perjuangan Kelas Karl Marx

TEORI POLITIK

ANALISIS PERBEDAAN ANTARA TEORI STRUKTUR SOSIAL EMILE DURKHEIM DENGAN TEORI PERJUANGAN KELAS KARL MARX
(Relevansi Teori Dalam Pengembangan Ilmu Politik) 

Oleh: Andika Jaka

ABSTRAK
               Banyak teori-teori yang telah berkembang mengenai kehidupan sosial dalam masyarakat yang dikemukakan oleh para tokoh-tokoh sosiologi. Salah satu dari teori-teori sosial tersebut ada teori struktur sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim dengan teori perjuangan kelas Karl Marx, dimana kedua teori tersebut muncul dari kondisi kehidupan masyarakat pada saat itu. Pada teori struktur sosial lebih menekankan pada cara bagaimana individu hidup bermasyarakat dengan adanya norma, nilai, aturan sehingga menciptakan tatanan kehidupan sosial lebih teratur. Sedangkan dalam teori perjuangan kelas lebih menekankan pada persamaan antar kelas, dimana menuntut adanya kehidupan bermasyarakat tanpa adanya perbedaan golongan/kelas. Kedua teori sosiologi tersebut, mempunyai hubungan keterkaitan/ relevansi terhadap perkembangan ilmu politik, dimana kedua teori tersebut sebenarnya berkaitan dengan konsep kekuasaan.


A.    Teori Struktur Sosial Emile Durkheim
Emile Durkheim merupakan salah satu tokoh sosiologi klasik dari perancis. Salah satu sumbangan pemikiran Emile Durkheim dalam ilmu sosiologi adalah teori struktur sosial, pemikiran Durkheim mengenai struktur sosial ini terinspirasi dan dilandasi oleh dua pemikiran tokoh lain, yaitu Thomas Hobbes dan Charles Darwin. Dalam salah satu buku karangan Thomas Hobbes menerangkan bahwa manusia dapat menjadi halangan atau musuh bagi sesamanya, dalam hal ini manusia disebut sebagai homo homini lupus. Dan kondisi sosial pada saat itu berhubungan dengan adanya Revolusi Perancis dan Revolusi Inggris. Oleh karena itu Emilie Durkheim berpandangan bahwa diperlukannya sebuah struktur sosial yang dapat membentuk sebuah tatanan sosial yang tertib, rasional, dan moral.
Teori struktur sosial merupakan, salah satu teori yang lahir atas fenomena yang terjadi dimasyarakat. Fenemona sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia, merupakan suatu interkasi antara manusia dengan lingkungan alam. Bahkan hubungan antara manusia dengan sang penciptanya. Hal ini mengingat bahwa manusia merupakan sebagai makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari antar keterkaitan manusia yang satu dengan satunya.
Emile Durkheim berpandangan bahwa struktur sosial itu terdiri dari norma-norma dan nilai-nilai dan melalui sosialisasi kita mempelajari defenisi-defenisi normatif ini, hanya melalui proses ini yang membuat anggota-anggota masyarakat menjalankan kehidupan sosial mereka.[1] Disini Emile Durkheim pada tingkat analisa struktur sosial menekankan pada analisa mengenai hasil-hasil dari tindakan sosial yang obyektif terlepas dari motif-motif subyektif, serta minatnya pada penelitian mengenai dasar-dasar keteraturan sosial, merupakan elemen-elemen utama dalam teori fungsional masa kini.[2]
Emile Durkheim juga telah mengungkapkan bahwa pencapaian kehidupan sosial manusia dan eksistensi keteraturan sosial dalam masyarakat yang disebut Solidaritas Sosial, kemudian ditekankan melalui sosialisasi dengan melalui proses tindakan sosial  manusia secara kolektif belajar standar-standar atau aturan-aturan perilaku. Hal ini kemudian disebut oleh Durkheim dengan Fakta Sosial.
Fakta Sosial menurut Emile Durkheim terletak pada bagian eksternal dan mengendalikan individu-individu. Meski tidak dapat dilihat, struktur aturan-aturan itu nyata bagi individu yang perilakunya ditentukan oleh fakta sosial tersebut. Ini kemudian membuat Durkheim berpendapat bahwa masyarakat memiliki eksistensinya sendiri.
Menurut Durkheim, sifat struktur diberikan kepada warga masyarakat sejak mereka lahir, sama seperti yang diberikan alam kepada fenomena alam. Masyarakat terdiri dari realitas fakta sosial yang sama bersifat eksternal dan menghambat individu. Kita tidak memilih untuk meyakini sesuatu yang kita yakini kini atau memilih tindakan yang kita ambil sekarang. Aturan-aturan kebudayaan yang sudah ada yang menentukan gagasan dan perilaku kita melalui sosialisasi individu dalam masyarakat.


B.     Teori Perjuangan Kelas Karl Marx
Sepert Adam Smith yang telah berbicara mengenai “si miskin” atau “kelas pekerja”, di dalam karya Marx dan Engels, terdapat tentang “kelas kapitalis” yang hidup diantara kelas pekerja dan kelas si kaya. Dalam artian di dalam Kapitalisme terdapat dua golongan yaitu golongan dari kelas borjuis dengan golongakn dari kelompok Proletar.
Berdasarkan kenyataan di atas, kedua kelas tersebut yaitu antara kelas poletariat dan bourgeois memiliki fungsi sosial yang berbeda-beda. Di mana kelas borjuis memiliki alat-alat produksi dan menguasai proses pengeluaran secara keseluruhannya, sedangkan kelas proletariat pula dianggap sebagai ‘objek’ dalam proses pengeluaran dengan menjual ‘tenaga kerja’ mereka dan mengenakan gaji atau upah yang rendah (McLellan 1977: 176).[3] Inilah yang kemudian Karl Marx memunculkan konsep teori perjuangan kelas.
Menurut Karl Max kelas-kelas yang memiliki kesadaran diri, memerlukan sejumlah kondisi tertentu untuk menjamin kelangsungannya, yaitu mereka memerlukan adanya suatu jaringan komukasi di antara mereka, seperti pemusatan massa rakyat serta kesadaran akan adanya musuh bersama dan adanya bentuk organsisasi yang rapi.
Organisasi ini dapat berupa  serikat-serikat buruh atau serikat-serikat kerja lainnya untuk mendesak upah yang lebih tinggi, perbaikan kodisi kerja, dan sebagainya. Akhirnya organisasi kelas buruh ini  akan menjadi cukup kuat bagi mereka untuk menghancurkan seluruh struktur sosial kapitalis dan menggantikan dengan struktur sosial yang menghargai kebutuhan dan kepentingan umat manusia seluruhnya yang diwakili oleh kelas proletar.
Dalam pemikiran sosio-politik Marxis, diktator proletariat merujuk pada negara sosialis di mana kaum proletar atau kelas burh memegang kekuasaan politik. Ini seusai penghancuran kapitalisme dengan paksa, dan setelah perebutan kekuasaan yang didominasi kapitalis, maka masyarakat akan masuk dalam suatu masa yang disebut masa transisi. Dalam masa ini akan muncul suatu kelas baru yakni kelas proletar yang tidak hanya menentang kelas borjuis atau pemilik modal, tetapi juga bertujuan untuk merebut kekuasaan dari kelas borjuis. Kemudian, nantinya kelas proletar akan menggunakan kekuasaan tersebut untuk mengatur masyarakat serta segenap aspek faktor-faktor produksi.
Setelah masa transisi berlalu, maka akan muncul masa diktator proletariat, yaitu merupakan suatu masa dimana kekuasaan dan semua aspek produksi yang dikuasai oleh kaum proletar yang dipertahankan dengan cara membentuk partai tunggal yang menjadi satu-satunya cara untuk merebut suatu kekuasaan, yaitu partai komunis. Demi mempertahankan keadaan-keadaan yang telah diraih lewat revolusi kaum proletar tersebut, maka Marx mensyaratkan partai komunis yang dibentuk oleh kaum proletar itu haruslah menjadi partai yang diktator. Oleh karena itu, partai-partai yang menganut komunis selalu bersifat radikal, karena mereka menuntut adanya sebuah revolusi.
Menurut Karl Marx, pada masa diktator proletariat, sarana-sarana produksi yang telah dikuasai tersebut, diarahkan oleh kaum proletar untuk pemerataan kesejahteraan bersama. Dalam kondisi seperti ini, kelas pekerja tidak lagi mengalami alienasi, karena hasil-hasil kerjanya ditujukan tidak hanya untuk mendapatkan keuntungan semata, tetapi juga untuk tujuan bersama, yaitu kesejahteraan bersama atau kesejahteraan masyarakat.
Marx berpendapat, dalam kondisi semacam itu para pekerja jauh lebih mengenali hasil kerja mereka. Para pekerja juga jauh memahami mengapa pekerjaan mereka harus dijalankan, untuk apa hasil kerja mereka, dan cita-cita besar apakah yang berada di balik semua aspek produksi yang mereka lakoni.
Selanjutnya, diktator proletariat akan diarahkan menuju sistem sosial atau  masyarakat yang memiliki tatanan sosial baru. Di dalam tatanan sosial tersebut, kelas-kelas di dalam masyarakat telah dihapuskan. Dlam artian, pada sistem produksi, sudah tidak ada lagi pembagian kelas antara kaum borjuis dan kaum proletar. Di dalam masyarakat yang memiliki tatanan baru tersebut, karena segenap aspek produksi dikuasai secara bersama dan diorientasikan untuk kesejahteraan bersama, maka setiap orang akan bekerja menurut batas kemampuannya, dan akan diberi menurut kebutuhannya.
Dengan kekuasaan yang sangat dipengaruhi oleh partai komunis yang diktator inilah kaum proletar mengambil-alih segenap aspek produksi, dengan menjalankan sistem pemerintahan, serta menerapkan sistem ekonomi sosialis di dalam suatu negara sosialis ataupun negara komunis.
Pada akhirnya, ketika masyarakat dengan tatanan baru tersebut tercipta, dan tatanan baru tersebut telah bisa dijalankan dengan baik oleh masyarakat, maka menurut Marx secara perlahan-lahan keberadaan negara ditiadakan. Negara yang telah lenyap itu berganti dengan lahirnya “masyarakat komunis”, atau yang populer di kalangan sosialis sebagai “masyarakat tanpa kelas”.
Sehubungan dengan itu, Karl Marx dalam teori konfliknya mengungkapkan bahwa konflik terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara dua kelompok didalam masyarakat, yaitu kelompok borjuis dengan kelompok proletar. Kelas borjuis mempunyai kepentingan untuk mencari keuntungan yang sebesar besarnya dengan cara menghasilkan komoditas yang sebanyak-banyaknya yang diikuti dengan menekan biaya produksi sekecil mungkin. Cara yang dilakukan untuk menghasilkan komoditas yang sebanyak-banyaknya  tersebut adalah dengan cara menambah jam kerja bagi para buruh atau keum proletar, sehingga mampu menghasilkan komoditas yang lebih banyak. Sedangkan cara yang digunakan untuk mencapai biaya produksi seminim mungkin adalah dengan cara menekan upah buruh tersebut. Sedangkan disisi lain kelas proletar menginginkan upah yang cukup bagi kebutuhan hidupnya dan juga jam kerja yang tidak terlalu padat sehingga tetap dapat bersosialisasi dalam kehidupan lingkungan sosialnya. Jadi, disini telah terlihat jelas antara kelas borjuis dan kelas proletar mempunyai perbedaan kepentingan yang sangat bertolak belakang.
Marx melihat bahwa dasar dari terjadinya sebuah konflik adalah karena adanya sebuah bentuk penindasan yang dilakukan oleh kelas borjuis terhadap kelas proletar atau kaum buruh. Penindasan itu bisa berupa upah yang tidak sesuai dengan tenaga yang mereka keluarakan untuk melakukan proses produksi, atau jam kerja yang diterapkan kelas borjuis terlalu tinggi.
Maka dari itu, Karl Marx berpandangan bahwa hanya dengan cara revolusi, kaum buruh bisa bebas terhadap penindasan yang dilakukan oleh kaum borjuis. Hal itu dalam artian bahwa dalam melalui revolusi, nantinya akan menghapuskan kelas antara kedua golongan masyarakat tersebut.
Kemudian revolusi proletariat itu akan menghasilkan sebuah kemenangan bagi kelas proletar. Kelas proletar akan mengambil alih alat-alat produksi yang selama ini hanya dimiliki oleh kelas borjuis. Dengan keadaan seperti ini tidak ada lagi penindasan yang terjadi oleh karena kepemilikan alat produksi telah menjadi kepemilikan bersama sehingga semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk menggunakannya. Kemenangan kelas proletar ini akan menyebabkan terbentuknya sistem yang baru yaitu diktator proletariat. Yaitu bagaimana kepemimpian dalam bidang ekonomi maupun politik akan diambil alih oleh kelas proletar. Kondisi ini akan menciptakan sebuah keadaan yang selaras dan tidak ada konflik lagi yang terjadi mengenai kesenjangan golongan sosial tersebut, atau sudah terciptanya masyarakat tanpa kelas.

C.    Analisis Perbedaan Teori Struktur Sosial dan Perjuangan Kelas serta Hubungan dalam Perkembangan Ilmu Politik
Melihat dari penjelasan diatas, kita dapat mengetahui tentang perbedaan, persamaan, dan hubungan antara teori-teori yang telah dijelaskan sebelumnya, serta relevansi teori-teori tersebut dengan pengembangan Ilmu Politik. Teori-teori tersebut berasal dari antara pemikiran Emile Durkheim dan Karl Marx.
Dalam teori Struktur Sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim, struktur sosial yang dimaksud adalah  struktur sosial yang lebih ke arah bagaimana cara masing-masing individu menjalankan kehidupan sosial mereka dengan adanya struktur sosial yang berupa seperti nilai, norma, dan aturan-aturan demi tercapainya ketertiban atau keteraturan sosial.
Teori struktur sosial yang dikemukakan Emile Durkheim, berbeda dengan teori apa yang dikemukakan oleh Karl Marx dengan teori perjuangan kelasnya. Karl Marx dapat menganalisa lebih dalam dengan aktivitas kehidupan sosial yang terjadi disekitarnya saat itu. Dapat juga dikatakan bahwa teori Karl Marx lebih ke status dalam pengklasifikasian masyarakat, sedangkan teori Emile Durkheim berorientasi pada bagaimana sistem Individu/kelompok dalam menjalani interaksi sosial. Dimana Karl Marx menjelaskan kelas sosial atau golongan sosial lebih kepada perbedaan hierarkis/vertikal antara individu atau kelompok dalam masyarakat dan budaya. Berdasarkan klasifikasi/stratifikasi sosial, ini akan menimbulkan pembagian kelas atau golongan dalam nasayrakat.
Pada teori perjuangan kelas Marx menentang adanya sistem Kapitalis, dimana saat itu terjadi pengelompokan kelas-kelas sosial antara kaum pemilik dengan kaum buruh. Hal semacam ini sebenarnya sudah ada pada saat zaman feodal, tapi muncul kembali pada saat adanya Kapitalisme. Di dalam Kapitalisme, terdapat pembagian golongan atau kelompok masyarakat, yaitu kaum borjuis dan kaum prroletar. Kaum borjuis yang memiliki alat-alat produksi dan menguasai hasil proses produksi yang dihasilkan. Sedangkan kaum/kelas proletar hanya sebagai objek yang bertujuan untuk bertugas menghasilkan produk dengan jumlah yang banyak dengan menjual tenaga kerja yang dimiliki. Sehingga Karl Marx melihat hal tersebut adalah sebuah penindasan terhadap kaum proletar.
Kemudian bicara mengenai perubahan sosial, menurut Emile Durkheim bahwa perubahan sosial itu bersifat negatif. Berbeda dengan pandangan Karl Marx yang mengemukakan bahwa perubahan sosial adalah sesuatu yang bersifat positif. Emile  Durkheim berpandangan bahwa suatu perubahan sosial yang terlalu cepat atau dengan cara revolusi nantinya akan dapat menyebabkan suatu keadaan disequilibrium atau ketidak seimbangan dalam kehidupan sosial selanjutnya. Tipe perubahan sosial Emile Durkheim yang baik adalah perubahan sosial yang bersifat lamban atau evolusioner. Sebaliknya, Karl Marx menganggap bahwa perubahan sosial baik jika dilakukan dengan cara revolusioner.
Dan dari kedua teori ini, relevansi terhadap pengembangan ilmu politik salah satunya adalah relevam dengan konsep kekuasaan politik. Seperti dalam teori perjuangan kelas, dimana terdapat dua golongan yaitu kaum borjuis dengan kaum proletar. Kaum borjuis merupakan kelompok penguasa atau pemilik modal, sehingga dapat dengan mudah mempengaruhi, menekan, dan memerintah kepada kaum proletar dengan meningkatkan jumlah produksi dan menekan gaji atau upah dari para buruh tersebut. Sedangkan para kaum proletar tidak memiliki kemampuan untuk itu, sehingga kaum proletar/kaum buruh merasa teralienasi oleh pekerjaannya sendiri, seperti apa yang dikemukakan oleh Karl Marx dengan teori Alienasi atau keterasingan.
Hal tersebut juga merujuk pada konsep kekuasaan yang dikemukakan oleh Robert Dahl, yaitu dimana (A) memiliki kekuasaan atas (B). Apabila (A) dapat mempengaruhi (B) untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh (B).[4] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekuasaan merupakan kemampuan, pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi perilaku orang lain sehingga perilaku yang dipengaruhi tersebut sesuai apa yang diinginkan oleh yang mempengaruhi.




DAFTAR PUSTAKA

Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Jakarta: UI-Press
Hasan, Hamid. 2007. Pengantar Ilmu Sosial “Sebuah Kajian Pendekatan Struktural”, Jakarta: Bumi Aksara
Ismail, Indriaty & Mohd. Zuhaili. 2012. “Karl Marx: Perjuangan Kelas Sosial”. International Journal of Islamic Thought. Vol 1 : 27-33
Sitepu, P Anthonius. 2011. Teori Teori Politik. Medan: Graha Ilmu.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia




[1] Saifuddin, A. F. (2010). Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
[2]  Indriaty Ismail & Mohd. Zuhaili. 2012. Karl Marx: Perjuangan Kelas Sosial. International Journal of Islamic Thought. Vol 1. hlm.. 27
[3]  Indriaty Ismail & Mohd. Zuhaili. 2012. Karl Marx: Perjuangan Kelas Sosial. International Journal of Islamic Thought. Vol 1. hlm..29
[4]  P Anthonius Sitepu, “Teori-Teori Politik”,  Yogyakarta: 2011, hlm. 51

Tidak ada komentar:

Posting Komentar