Pages

Rabu, 13 November 2013

Perbedaan Antara Demokrasi Liberatif dan Demokrasi Deliberatif serta Kritiknya

Oleh: Andika Jaka


Perbedaan Demokrasi Liberatif dan Demokrasi Deliberatif
Demokrasi Deliberatif muncul pertama kali pada abad ke 19 yang diperkenalkan oleh Jurgen Habermas. Demokrasi deliberatif sebenarnya mengkritik demokrasi liberal yang dianggap terlalu memberi kebebasan pada individu-individu dalam melakukan dan menentukan dalam segala hal. Dengan kebebasan yang diberikan seperti itu, menurut pandangan demokrasi deliberatif hal itu rentan dan sangat berpotensi terjadinya konflik antar individu karena mempertahankan ego dan haknya masing-masing.
Sedangkan Demokrasi Deliberatif merupakan konsep demokrasi yang lebih menekankan pada Konsensus. Konsensus merupakan sebuah kesepakatan bersama yang dihasilkan melalui musyawarah yang berdasarkan pada kesetaraan hak. Demokrasi deliberatif ini bertujuan untuk tercapainya aspirasi-aspirasi masing-masing pihak baik individu maupun kelompok dapat tersalurkan dengan sempurna tanpa adanya intervensi atau campur tangan dari pihak lain.
Menurut Jurgen Habermas, Konsep delibrasi yang dimaksud adalah prosedur yang dijalankan bertujuan untuk menghasilkan sebuah keputusan atau konsensus. Konsensus menurut Habermas adalah sebuah keputusan harus memiliki legitimasi jika sudah melalui proses pengujian atau diskursus dimana semua isu dibahas bersama oleh pihak-pihak yang terkait dengan isu tersebut dengan posisi atau kedudukan yang setara dan tanpa ada tekanan dari pihak lain.

Kritik Terhadap Demokrasi Deliberaf
Ada beberapa tokoh yang mengkritik mengenai konsep Demokrasi deliberatif, diantaranya yaitu dari Sanders, Nash, dan Hardiman. Selain dari tiga tokoh yang mengkritik tentang konsepsi Demokrasi Deliberatif, setidaknya juga ada tiga kelompok pengkritik Demokrasi ini yaitu dari teoritikus pilihan sosial, Demokrat perbedaan, dan Egalitarian Skeptis.[1]
Kritk yang dikemukakan oleh Sanders, ia menyatakan bahwa pada kehidupan real tidak semua orang atau individu yang mampu menyampaikan argumen atau aspirasi secara rasional, contohnya sepert dari kaum perempuan, minoritas dan masyarakat miskin. Dimana semua kelompok tersebut tidak mempunyai kekuasaan atau kemampuan yang cukup kuat dalam mengeluarkan aspirasi ataupun argumennya.
Kemudian dari Nash, juga mengkritik bahwa konsep dengan pencapaian konsensus merupakan suatu pemaksaan keseragaman atau over-rasionalist. Dengan mendapatkan suatu konsensus dari berbagai argumen yang berbeda, akan terasa sangat memaksa dan dirasa over-rasionalist karena pastinya akan sulit dalam mencapai suatu konsensus tersebut. Dan dari Hardiman juga menyatakan bahwa konsep yang diberikan Habermas cenderung tidak menghendaki adanya perubahan yang radikal dalam modernitas kapitalis yang menolak atau mengendalikan diskursus-diskursus rasional dalam ruang publik.




[1]  Gerald F.Gaus & Chandran Kukathas. 2012. Handbook Teori Politik. Bandung: Nusa Media, hlm. 335

Tidak ada komentar:

Posting Komentar