KEBIJAKAN PUBLIK :
Upah Minimum Provinsi Tahun 2014
Meningkat
Oleh: Andika Jaka
ABSTRAKSI
Seiring dengan akan semakin
dekatnya akhir tahun 2013, para pekerja/buruh menuntut untuk menaikkan Upah
Minimum Provinsi (UMP) pada tahun 2014 hingga 50% dari ketetapan UMP sebelumnya.
Tuntutan ini diwarnai dengan aksi turun jalan dan melakukan mogok kerja
berskala nasional yang dilakukan di tiap-tiap provinsi. Para pekerja/buruh
semakin geram ketika muncul adanya Intruksi Presiden (Inpres) No.9 tahun 2013
tentang Kebijakan penetapan upah minimum dalam rangka keberlangsungan usaha dan
peningkatan kesejahteraan. Dimana menurut pihak pekerja/buruh, isi dari Inpres
tersebut lebih berpihak kepada pengusaha dan adanya poin-poin yang dirasa
ganjil.
Tuntutan dari para pekerja/buruh
dengan menuntut UMP pada tahun 2014 naik hingga 50%, telah menuai banyak Pro
dan Kontra antara Pengusaha, Pekerja/buruh, bahkan Pemerintah. Melihat kondisi
perekonomian Indonesia saat ini cukup lemah, ditambah dengan tuntutan para
pekerja/buruh mengenai UMP 2014 naik 50%, ini sangat memberatkan pemerintah
khususnya pada para pengusaha-pengusaha.
Untuk mengatasi masalah tersebut,
pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Intruksi Presiden No.9 tahun 2013,
kemudian Peraturan Menakertrans Nomor
7 Tahun 2013 dengan tujuan untuk menentukan suatu keputusan kebijakan yang
diambil oleh pemerintah terhadap
permasalahan tentang UMP ini. Pemerintah dalam menentukan UMP tetap pada
pedoman UU RI No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diamana dalam
menentukan UMP didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL), Produktivitas, dan
Pertumbuhan Ekonomi. Penetapan UMP dari masing-masing provinsi ini, ditetapkan
oleh Gubernur setelah mendapat dan memperhatikan rekomendasi/usulan dari Dewan
Pengupahan Provinsi yang telah melakukan survey biaya Kebutuhan Hidup Layak
(KHL). Setelah diputuskan dan ditetapkan, UMP tahun 2014 ini berlaku pada per 1
Januari 2014. Setelah keputusan yang telah ditetapkan oleh Gubernur tersebut,
maka selanjutnya akan dikembaliakan lagi pada Bipartit (hubungan antara tenaga
kerja dan perusahaan masing-masing).
Kata Kunci :
Kebijakan, UMP, Pekerja/buruh, Pengusaha, Pemerintah, Upah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam
pembukaan (preamblue) Undang-undang
dasar 1945 pada Alinea ke-IV telah disebutkan secara tegas bahwa Pemerintah
Negara Indonesia di bentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, dan mencerdaskan
kehidupan bangsa Indonesia. Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa salah satu
tujuan dari dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia adalah guna untuk
memajukan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Kemudian dijelaskan juga dalam
undang-undang dasar 1945, mengenai Warga Negara dan Penduduk pada Bab X pasal
28D ayat 2 bahwa “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Hal ini berarti setiap
orang berhak mendapatkan pekerjaan, dan orang yang bekerja tersebut harus
mendapat imbalan yang proporsional dalam melakukan hubungan pekerjaan.
Oleh karena itu, dalam mendorong
kesejahteraan rakyat, maka pemerintah Indonesia haruslah membuka lebar masalah
lapangan pekerjaan. Apalagi di zaman sekarang pembangunan ekonomi sudah
mengarah ke arah Industrialisasi, dimana banyak sekali Industri atau perusahaan-perusahaan
yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Progres masalah ketenagakerjaan Indonesia
sampai saat ini sudah mencapai peningkatan yang cukup lumayan.
Pembangunan ketenagakerjaan sendiri
merupakan program pemerintah yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang
Republik Indonesia tahun 1945, dimana pembangunan ketenagakerjaan ini bertujuan
untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, dengan memberikan pemerataan kesempatan
kerja yang sesuai dan memberdayakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
Selebihnya, untuk mengetahui hak-hak
dan kewajiban tentang masalah tenaga kerja, sudah diatur dalam Undang-undang
Republik Indonesia No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dimana didalam
undang-undang tersebut membahas mengenai peraturan, hak, dan kewajiban dalam
menjalin hubungan kerja, khusunya mengatur tentang tenaga kerja atau buruh.
Pengertian
ketenagakerjaan menurut UU RI No.13 tahun 2003, pasal 1 ayat 1 menjelaskan
bahwa “ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Sedangkan pengertian dari
tenaga kerja itu sendiri adalah meneurut UU RI No.13 tahun 2003, pasal 1 ayat 2
bahwa Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
Kemudian pengertian dari
Pekerja/buruh menurut UU RI No.13 tahun 2003 pasal 1 ayat 3 adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan
demikian merujuk pada UUD 1945 pasal 28D ayat 2, bahwa setiap pekerja/buruh
dalam melakukan hubungan kerja harus mendapat imbalan. Imbalan yang dimaksud
disini adalah upah.
Menurut UU RI No.13 tahun 2003 pasal
1 ayat 30, menjelaskan bahwa “upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja
kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
atau akan dilakukan”.
Kebijakan
pengupahan yang telah dijelaskan diatas, menurut UU RI No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan pasal 88 ayat 3, pengupahan yang diberikan kepada buruh
meliputi :
- Upah minimum
- Upah kerja lembur;
- Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
- Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
- Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
- Bentuk dan cara pembayaran upah;
- Denda dan potongan upah;
- Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
- Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
- Upah untuk pembayaran pesangon; dan
- Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
- Untuk mengetahui bagaimana Kebijakan yang diambil oleh pemerintah ketika para pekerja/buruh menuntut UMP naik hingga 50%.
- Dan bagaimana proses, prosedur, atau alur ketika akan mengambil kebijakan/keputusan penetapan UMP 2014.
- Identifikasi Masalah Kebijakan
- Penyusunan Agenda Kebijakan
- Perumusan Kebijakan
- Pengesahan Kebijakan
- Implementasi Kebijakan
- Evaluasi Kebijakan
Berbicara mengenai ketenagakerjaan dan pengupahan terhadap tenaga
kerja, kini para pekerja atau buruh di Indonesia mempermasalahkan tentang Upah
Minimum Provinsi (UMP), dimana para pekerja atau buruh menuntut upah minimum
mereka pada tahun 2014 mendatang agar dinaikkan 50% dari upah minimum yang
diterima saat ini (UMP 2013). Para pekerja atau buruh tersebut meminta kenaikan
UMP karena merasa UMP pada tahun 2013 ini dirasa masih memberatkan para
pekerja/buruh, karena adanya harga subsidi BBM yang naik, lebih-lebih adanya
inflasi yang melanda Negara ini.
Kemudian para pekerja/buruh Indonesia juga menuntut agar
dicabut Intruksi Presiden (Inpres) yang dikeluarkan pada 27 Sepetember 2013,
diamana menurut para pekerja/buruh berpendapat bahwa isi dalam Inpres tersebut
telah melanggar konvesi ILO Nomor 87 dan Nomor 98 serta bertentangan dengan UU
Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja.[1]
Dalam Inpres tersebut para pekerja/buruh berpendapat bahwa dalam pelaksanaannya
nantinya akan berpotensi terjadi pelanganggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di
lapangan, karena dalam Inpres tersebut menyatakan bahwa pihak dari Kepolisian
RI turut campur dan terlibat dalam proses penetapan upah minimum. Selain itu
para pekerja/buruh juga menolak pemikiran pemerintah yang menjadikan industri padat karya sebgai alasan, bahwa penetapan upah tak bisa naik tinggi karena harus mengikuti kemampuan industri padat karya.[2]
1.2 Rumusan Masalah
Melihat apa yang dijelaskan di latar
belakang masalah diatas tentang ketenagakerjaan dan pengupahan para tenaga
kerja, maka Rumusan masalah yang diangkat adalah tentang bagaimana para
pekerja/buruh menuntut UMP pada tahun 2014 naik hingga 50%, dan bagaimanakah
kebijakan yang diambil oleh pemerintah dengan menaikkan UMP 2014 mendatang.
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi Kebijakan Publik yang dikemukakan oleh Thomas
Dye diartikan sebagai “whatever governments choose to do or not to
do” [3],
atau dapat diartikan apapun pilihan yang diambil oleh pemerintah baik melakukan
atau tidak melakukan sesuatu, itulah yang dinamakan kebijakan publik. Sedangkan
dari David Easton dalam pemikirannya tentang kebijakan mengemukakan bahwa “a policy... consists of a web of decisions
and action that allocate... values”[4],
dapat diartikan kebijakan terdiri dari serangkaian keputusan dan tindakan untuk
mengalokasikan nilai-nilai. Dari pengertian tersebut menjelaskan bahwa
pemerintah memiliki hak otoritas yang sah dalam berbuat sesuatu pada masyarakat
dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu
dan diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai.
Selanjutnya menurut Thomas R.
Dye, proses pengambilan kebijakan publik meliputi berbagai enam hal:
Pada intinya Kebijakan publik
merupakan serangkaian keputusan dan pilihan dari pemerintah baik itu melakukan
sesuatu maupun tidak melakukan sesuatu guna bertujuan untuk mencapai tujuan
dari permasalahan yang diangkat tersebut. Dalam mengambil suatu keputusan atau
kebijakan, ada proses-proses tertentu.
Seperti yang telah dikemukakan
oleh Thomas Dye yaitu pertama mengidentifikasi suatu masalah yang diangkat
tersebut sehingga nantinya akan dibuat suatu kebijakan. Setelah Identifikasi
permasalahan selesai, barulah dibuat agenda penyusunan kebijakan dari suatu
permasalahan tersebut. Kemudian langkah selanjutnya adalah perumusan kebijakan,
dimana merupakan tahapan pengusulan rumusan kebijkan melalui inisiasi dan
penyusun usulan kebijakan tertentu atau yang berwenang dalam suatu masalah yang
diangkat. Setelah perumusan kebijakan
terpenuhi, selanjutnya ke tahap pengesahan kebijakan, dimana usulan-usulan
kebijakan tersebut disahkan untuk menjadi sebuah kebijkan publik yang baru.
Berbicara
mengenai kebijakan publik, akhir-akhir ini di negara kita sedang ramai masalah
tentang para pekerja yang menuntut untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP)
hingga 50%. Para pekerja/buruh menuntut Upah yang naik 50% tersebut,
direalisasikan pada UMP 2014. Dan tuntutan para pekerja/ buruh ini tidak
main-main, terbukti adanya demo buruh besar-besaran yang menyerbu Gedung DPR
RI, dan melakukan aksi mogok kerja pada masing-masing perusahaan.
Upah
Minimum menurut Peraturan Kementrian No.1 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1, Upah
Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk
tunjangan tetap. Upah ini berlaku bagi mereka yang lajang dan memiliki
pengalaman kerja 0-1 tahun, berfungsi sebagai jaring pengaman, ditetapkan
melalui Keputusan Gubernur berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan dan
berlaku selama 1 tahun berjalan. [5]
Kemudian,
menurut UU RI No.13 tahun 2003 Pasal 89 ayat 1 menjelaskan bahwa Upah Minimum,
dibagi menjadi dua yang terdiri dari:
1. Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau
kabupaten/ kota.
2. Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi
atau kabupaten/kota.
Dari sini dapat kita simpulkan
bahwa UMP adalah suatu standard upah minimum berdasarkan wilayah provinsi
tertentu, yang digunakan oleh para pengusaha, pelaku industri atau pemberi
kerja untuk memberikan upah kepada pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja
terhadap perusahaan. Dengan catatan bahwa upah yang diberikan kepada
pekerja/buruh tersebut tidak boleh dibawah standard upah minimum provinsi yang
telah ditetapkan.
Kemudian
lanjut pada permasalahan yang telah dihadapi oleh pemerintah saat ini, yaitu
tentang masalah kenaikan UMP 2014 yang mencapai 50%. Para pekerja/buruh
menuntut juga didasari karena adanya Intruksi Presiden (Inpres) No.9 tahun 2013
tentang Kebijakan penetapan upah minimum dalam rangka keberlangsungan usaha dan
peningkatan kesejahteraan yang dikeluarakan pada tanggal 27 September 2013.
Pada Inpres tersebut para buruh menganggap bahwa Intruksi yang disampaikan
tidak pro terhadap para pekerja/buruh.
Menurut
para buruh, dalam Inpres tersebut banyak sekali poin-poin yang malah merugikan
pihak para pekerja/buruh, seperti:
1. Bagi daerah yang Upah minimumnya telah diatas KHL
(Kebutuhan Hidup Layak), maka dilakukan perundingan Bipartit[6]
antara pengusaha dan serikat pekerja untuk membahas kenaikan upah. Padahal
dalam UU RI No.13 tahun 2003, Pasal 89 ayat 3 tentang Ketenagakerjaan telah
dijelaskan bahwa penetapan upah minimum ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal
ini adalah Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan
Provinsi dan atau daari Bupati/Walikota.
2. Kedua, menurut pihak para serikat pekerja/buruh pengeluaran Inpres tersebut bersifat
Mubadzir, dengan alasan bahwa semua isi dari Inpres tersebut semuanya telah
dijelaskan dalam UU RI No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,
Permenakertrans No. 13 tahun 2012, dan Permenakertrans No.01 tahun 1999 yang
menyatakan tentang penetapan upah minimum didasarkan pada survey biaya hidup
atau KHL.[7]
Selain itu dalam Inpres tersebut juga bertentangan pada Undang-undang bahwa
penetapan upah minimum dibawah KHL didasarkan
pada jenis industri padat karya dan non padat karya.
3. Dan menurut serikat pekerja/buruh, Inpres tersebut melanggar
konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98 serta bertentangan dengan UU Nomor 21 Tahun
2000 tentang serikat pekerja. Serta berpotensi terjadi pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) di lapangan karena dalam Inpres tersebut memerintahkan kepolisian
RI turut campur dan terlibat dalam proses penetapan upah minimum.[8]
Dari keputusan Inpres
tersebut, maka para pekerja/buruh melakukan aksi mogok nasional di masing-masing
provinsi seluruh Indonesia pada tanggal 28-30 Oktober 2013. Sebelumnya, para serikat pekerja/buruh telah
melakukan aksi turun jalan dengan ribuan massa buruh yang terdiri dari Federasi
Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
(KSPI) dan serikat pekerja lainnya mendatangi ke gedung DPR RI untuk menuntut
kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2014 meningkat 50%.
Presiden Konfederasi Serikat
Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan serikat pekerja mengusulkan
kenaikan UMP tahun depan capai 50 %. Pihaknya menolak gagasan kenaikan UMP yang
diusung pemerintah dan pengusaha yang mengedepankan kemampuan industri padat
karya. Buruh berpatokan, UMP ditentukan oleh penambahan komponen kebutuhan
kehidupan layak (KHL).[9]
Yang melatarbelakangi pihak
pekerja/buruh dalam menuntut tuntutannya adalah selain dari Penolakan terhadap
Inpres No. 9 tahun 2013, juga terdapat beberapa alasan lain, yaitu seperti:
1. Jika saat ini pemerintah menggunakan 60 komponen dalam
menentukan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), maka dari pihak serikat pekerja/buruh
meminta agar tahun depan ditambah menjadi 84 komponen dalam KHL. Tambahan
komponen yang dimaksudkan tersebut salah satunya seperti menganggarkan uang
pulsa untuk SMS dengan alokasi dana Rp 30.000/bulan. Menurut pihak
pekerja/buruh, saat ini pulsa untuk SMS sudah dirasa sangat mendasar, karena
sudah merupakan kebutuhan sehari-hari dalam menunjang pekerjaan.
2. Kemudian pekerja/buruh menolak kenaikan UMP hanya
sebesar inflasi atau dibawah 20% seperti yang diusulkan Menteri Perindustrian
MS Hidayat dan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi.[10]
3. Yang menjadi alasan untuk menuntut agar kenaikan UMP
2014 mencapai 50% adalah, para pekerja/buruh berpendapat bahwa harga BBM yang
saat ini naik, serta tingkat inflasi tahun ini yang mencapai sekitar 10%
tersebut dirasa telah sangat memeberatkan para pekerja/buruh dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari.
4. Para pihak pekerja/buruh juga berpegang pada komitmen
pemerintah seperti yang pernah disampaikan pada pidato kenegaraan Presiden
SBY yang mengatakan Indonesia masih menjadi tujuan investasi, pemerintah
Indonesia tak lagi menganut kebijakan upah buruh murah dan mendorong
meningkatkan daya beli masyarakat Indonesia.[11]
Dari pernyataan tersebut, berarti seharusnya upah pekerja/buruh di Indonesia
tergolong tinggi.
5. Dan pihak para pekerja/buruh menolak apa yang
disampaikan pemerintah pada Inpres No.9 tahun 2013 yang menjadikan Industri
padat karya dan industri non padat karya sebagai tolak ukur terhadap kenaikan
Upah minimum.
Tuntuan dari pihak para
pekerja/buruh dengan menaikkan UMP 2014 meningkat hingga mencapai 50%, telah
menimbulkan Pro dan Kontra baik dalam pihak-pihak yang bersangkutan maupun dari
masyarakat pada umumnya. Banyak pihak
yang menentang atau tidak sepakat dengan apa yang dituntutkan oleh pihak
pekerja/buruh. Seperti banyak pengusaha-pengusaha yang mengecewakan terhadap
aksi para pekerja/buruh tersebut. Dari pihak pengusaha juga tidak tinggal diam,
mereka berpendapat bahwa tidak ada salahnya jika dari pihak buruh menuntut
kenaikan upah minimum, tetati jangan salahkan dari pihak pengusaha jika
nantinya akan terjadi PHK besar-besaran. Pernyataan ini terlihat cukup logis
melihat kondisi saat ini, dimana harga rupiah terhadap dollar menurun, harga
barang dan jasa mahal, dan ditambah lagi kenaikan upah pekerja/buruh yang
menuntut agar naik mencapai 50%. Hal ini yang memberatkan para pengusaha
Indonesia untuk membayar upah pekerja/buruh jika kenaikan upah terlalu tinggi,
belum lagi adanya isu tentang pencabutan subsidi listrik dari pemerintah
terhadap kalangan industri besar.
Pro dan Kontra dari
masing-masing pihak pun masih mewarnai permasalahan tentang UMP ini. Kemudian
mengingat dan merujuk pada Intruksi Presiden (Inpres) No.9 tahun 2013 yang
berlaku mulai tanggal 27 September 2013 tersebut, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Kemenakertrans) Muhaimin Iskandar menegaskan bahwa Upah
Minimum Provinsi (UMP) tahun 2014 akan ditetapkan dan diumumkan oleh
masing-masing Gubernur di seluruh Indonesia secara serentak pada 1 November
2013. Penegasan ini tertuang dalam Peraturan Menakertrans Nomor 7 Tahun 2013, yang
ditandatangani oleh Muhaimin Iskandar pada 2 Oktober 2013, dan telah
diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin pada 18
Oktober 2013 lalu.[12] Dalam Peraturan Menakertrans Nomor 7 Tahun 2013, juga telah
dijelaskan bahwa penetapan upah minimum didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak
(KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Ketika sampai pada tanggal 2
November 2013, tercatat dari 34 Provinsi di Indonesia sebanyak 16 Provinsi yang
telah menetapkan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) 2014. 16 provinsi tersebut
adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi, Sulawesi Tenggara, Sumatera
Barat, Bangka Belitung, Papua, Bengkulu, NTB, Banten, Kalimantan Selatan, DKI
Jakarta, Kepulauan Riau, Riau, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara.[13]
Dari data tersebut berarti masih kurang 18 Provinsi lagi yang belum menetapkan
Upah Minimum Provinsi (UPM) tahun 2014.
Dari
semua penjelasan diatas dapat digambarkan bahwa dalam pengambilan kebijkan
mengenai Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2014, dapat melalui cara apa yang
dikemukakan oleh Thomas R Dye dalam bagaimana cara mengambil suatu keputusan
atau kebijakan, yaitu pemerintah mengidentifikasi terlebih dahulu apa yang
dipermasalahkan oleh Para pekerja/buruh yaitu dengan menuntut agar UMP 2014
naik 50% dari UMP sebelumnya dengan alasan yang telah dijelaskan diatas.
Kemudian dari pihak pemerintah melalui Intruksi Presiden No.9 tahun 2013,
memrintahkan kepada Gubernur tiap provinsi agar segera menentukan UMP tahun
2014 dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang Undang ketenagakerjaan.
Selain itu melalui Peraturan
Menakertrans Nomor 7 Tahun
2013 menegaskan bahwa Penetapan UMP serentak diumumkan pada tanggal 1 November
2013.
Setelah membuat penyusunan agenda
kebijakan, langkah selanjutnya adalah merumuskan kebijakan. Diamana dalam hal
ini rumusan kebijakan diusulkan oleh Dewan Pengupahan Provinsi setelah melakukan
survey biaya tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang terdiri dari 60 komponen
dalam menentukan upah minimum, yang selanjutnya akan di berikan atau diusulkan
kepada Gubernur untuk diperhatiakan, dipertimbangkan, dan diputuskan sebagai
kebijakan Upah Minimum Provinsi (UMP). Perumusan ini sebenarnya bersifat
tripartite, diamana terdapat forum komunikasi antara pihak pemerintah,
penguasaha, dan pekerja/buruh guna untuk mendapatkan tujuan dan
kesepakatan/konsensus .
Kemudian setelah melakukan perumusan
kebijakan dengan memperhatikan usulan atau rekomendasi dari Dewan Pengupahan
Provinsi, Gubernur memutuskan mengenai Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2014,
diamana keputusan tersebut akan menjadi pedoman atau dasar standard Upah
Minimum Provinsi tersebut. Keputusan ini yang merupakan tahap pengesahan
kebijakan.
Dan setelah pemerintah (dalam hal
ini Gubernur) menentukan kebijakan UMP 2014 dari masing-masing provinsi, kini
selanjutnya akan di kembalikan pada public dalam melakukan Implementasi
Kebijakan tersebut. Setelah UMP 2014 ditetapkan, kini dikembalikan lagi kepada
pihak bipartrit atau antara pengusaha/pemberi kerja dengan pekerja/buruh dengan
melalui hubungan kerja yang baru. Hubungan kerja tersebut beruapa kontrak kerja
antara perusahan dengan pekerja/buruh dengan jangka waktu tertentu yang telah
disepakati bersama dan dengan pemberian upah tidak boleh kurang dari ketentuan
UMP 2014.
Yang
terakhir dalam proses kebijakan publik adalah melakukan tahap evaluasi public
oleh pemerintah dan lembaga pemerintah sendiri dalam menentukan suatu kebijakan
yang telah diambil tersebut, apakah keputusan kebijakan yang dipilih oleh
pemerintah tersebut berjalan sesuai harapan pemerintah dan rakyat, atau
sebaliknya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mengenai
masalah penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebenarnya dari pihak-pihak yang
berkepentingan, dalam hal ini adalah pemerintah, pengusaha, dan buruh jangan
terlalu saling merasa paling dirugikan. Sebenarnya buruh dalam menuntut haknya
dengan meminta agar menaikkan tingkat strandar UMP dari sebelumnya adalah hal
yang wajar, tetapi jika melihat dari tuntutan para pekerja/buruh yang meminta
UMP tahun 2014 naik hingga 50% dengan berkaca keadaan perekonomian Indonesia
saat ini, diarasa cukup memberatkan bagi pengusaha. Jika dari pihak para
pengusaha mengeluh dan banyak yang kecewa terhadap tuntutan para pekerja/buruh
tersebut cukup logis, karena melihat harga-harga barang produksi makin mahal,
inflasi Negara mencapai 10%, belum lagi dengan isu yang beredar bahwa
pemerintah akan mencabut subsidi listrik bagi kalangan industri besar. Keadaan
yang seperti nantinya yang akan memberatkan para pengusaha, bahkan bisa saja
akan menjadi boomerang bagi para pekerja/buruh.
Dengan perusahaan dituntut membayar upah yang cukup
tinggi, sedangkan perusahaan itu kesulitan dalam memenuhi tuntutan tersebut,
bisa saja suatu perusahaan tersebut melakukan PHK besar-besaran dengan tujuan
meminimalisir pengeluaran biaya untuk tenaga kerja. Jadi boleh saja pekerja/buruh
menuntut UMP tahun 2014 naik hingga 50%, tapi harus diimbangi dengan progress
kerja dan pelayanan kerja yang baik juga, agar tercapai titik keadilan antara
pekerja dengan pemberi kerja.
Melihat
masalah ini, pemerintah dalam mengambil kebijakan cukup baik, jadi dalam
mengambil ketentuan kebijakan masalah penetapan UMP ini tetap berpedoman pada
Undang-undang Republik Indonesia No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
meskipun dalam Intruksi Presiden No.9 tahun 2013 terdapat pernyataan yang
ganjil mengenai kenaikan UMP tersebut. Dalam pengambilan kebijakan penetapan
UMP 2014 tetap pada pedoman kriterian standard Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dari
masing-masing Provinsi. Diamana setiap Gubernur memutuskan tingkat UMP tahun
2014, didasari dari rekomendasi dan usulan dari Dewan Pengupahan Provinsi yang
telah melakukan survey KHL.
Setelah
Upah Minimal Provinsi ini ditetapkan, kemudian Bupati/Walikota mengusulkan Upah
Minimal Kota/kabupaten (UMK) yang nantinya akan diberikan kepada Gubernur untuk
disahkan dan ditetapkan. Dengan catatan bahwa UMK harus lebih besar daripada
UMP. Jika dalam suatu provinsi telah menetapkan UMP, dan suatu kota/kabupaten
dalam satu provinsi tersebut juga telah menetapkan UMK (UMK lebih besar dari
UMP) maka upah minimal yang berlaku adalah UMK. Tetapi jika tidak ada UMK, maka
semua koat/kabupaten dalam satu provinsi tersebut upah minimum yang berlaku
adalah UMP dari provinsi tersebut.
Selain
itu, sudah dijelaskan dalam UU RI No.13 tahun 2003 bahwa suatu perusahaan tidak
boleh membayar upah dibawah upah minimum yang telah ditetapkan. Hal ini sering
kali terjadi, suatu perusahaan memberikan upah terhadap para pekerja/buruh
dengan tidak mencapai UMP yang telah ditetapkan. Perlu diketahui bahwa Upah
Minimum meliputi Gaji Pokok (75 % dari total upah minimum) dan Tunjangan Pokok
(25% dari total upah minimum). Jadi
perlu ditekankan bahwa jika gaji/upah yang diterima oleh pekerja/ buruh setiap
bulannya gaji pokok + tunjangan tetap + tunjangan tidak tetap itu tidak setara
dengan Upah Minimum yang seharusnya diterima.
[1] http://bisnis.liputan6.com/read/714308/alasan-buruh-tolak-mentah-mentah-inpres-ump,
diakses pada tanggal 04 November 2013.
[2] http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/27926/buruh-tuntut-upah-naik-50-pada-2014.html,
diakses pada tanggal 04 November 2013.
[3] Joko Widodo, “Analisis Kebijakan Publik
(Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik)”, Sidoarjo:2006, hlm. 13
[4] Solichin Abdul Wahab, “Pengantar Analisis
Kebijakan Publik”, Malang:2011. hlm. 35
[5] http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/04/17/pengertian-upah-minimum-547095.html,
diakses pada tanggal 04 November 2013.
[6] Bipartit
adalah adalah forum
komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan
industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan
serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
[7] http://bisnis.liputan6.com/read/714308/alasan-buruh-tolak-mentah-mentah-inpres-ump,
diakses pada tanggal 04 November 2013.
[8] Ibid.
[9] http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/27926/buruh-tuntut-upah-naik-50-pada-2014.html,
diakses pada tanggal 04 November 2013.
[10] http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/27926/buruh-tuntut-upah-naik-50-pada-2014.html,
diakses pada tanggal 04 November 2013.
[11] Ibid.
[12] http://www.setkab.go.id/berita-10832-1-november-seluruh-gubernur-harus-sudah-tetapkan-upah-minimum-provinsi-tahun-2014.html,
diakses pada tanggal 04 November 2013.
[13] http://setkab.go.id/berita-10917-sudah-16-provinsi-tetapkan-upah-minimum.html,
diakses pada tanggal 04 November 2013.
THANKS BROO
BalasHapus