Pages

Selasa, 12 November 2013

Kebijakan Publik Mengenai Tuntutan Buruh Agar UMP 2014 Naik 50%

KEBIJAKAN PUBLIK :
Upah Minimum Provinsi Tahun 2014 Meningkat

Oleh: Andika Jaka


ABSTRAKSI
Seiring dengan akan semakin dekatnya akhir tahun 2013, para pekerja/buruh menuntut untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) pada tahun 2014 hingga 50% dari ketetapan UMP sebelumnya. Tuntutan ini diwarnai dengan aksi turun jalan dan melakukan mogok kerja berskala nasional yang dilakukan di tiap-tiap provinsi. Para pekerja/buruh semakin geram ketika muncul adanya Intruksi Presiden (Inpres) No.9 tahun 2013 tentang Kebijakan penetapan upah minimum dalam rangka keberlangsungan usaha dan peningkatan kesejahteraan. Dimana menurut pihak pekerja/buruh, isi dari Inpres tersebut lebih berpihak kepada pengusaha dan adanya poin-poin yang dirasa ganjil.

Tuntutan dari para pekerja/buruh dengan menuntut UMP pada tahun 2014 naik hingga 50%, telah menuai banyak Pro dan Kontra antara Pengusaha, Pekerja/buruh, bahkan Pemerintah. Melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini cukup lemah, ditambah dengan tuntutan para pekerja/buruh mengenai UMP 2014 naik 50%, ini sangat memberatkan pemerintah khususnya pada para pengusaha-pengusaha.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Intruksi Presiden No.9 tahun 2013, kemudian Peraturan Menakertrans  Nomor 7 Tahun 2013 dengan tujuan untuk menentukan suatu keputusan kebijakan yang diambil oleh pemerintah  terhadap permasalahan tentang UMP ini. Pemerintah dalam menentukan UMP tetap pada pedoman UU RI No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diamana dalam menentukan UMP didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL), Produktivitas, dan Pertumbuhan Ekonomi. Penetapan UMP dari masing-masing provinsi ini, ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat dan memperhatikan rekomendasi/usulan dari Dewan Pengupahan Provinsi yang telah melakukan survey biaya Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Setelah diputuskan dan ditetapkan, UMP tahun 2014 ini berlaku pada per 1 Januari 2014. Setelah keputusan yang telah ditetapkan oleh Gubernur tersebut, maka selanjutnya akan dikembaliakan lagi pada Bipartit (hubungan antara tenaga kerja dan perusahaan masing-masing).  

Kata Kunci : Kebijakan, UMP, Pekerja/buruh, Pengusaha, Pemerintah, Upah







BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
           
Dalam pembukaan (preamblue) Undang-undang dasar 1945 pada Alinea ke-IV telah disebutkan secara tegas bahwa Pemerintah Negara Indonesia di bentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan  mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa salah satu tujuan dari dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia adalah guna untuk memajukan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
            Kemudian dijelaskan juga dalam undang-undang dasar 1945, mengenai Warga Negara dan Penduduk pada Bab X pasal 28D ayat 2 bahwa “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Hal ini berarti setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan, dan orang yang bekerja tersebut harus mendapat imbalan yang proporsional dalam melakukan hubungan pekerjaan.
            Oleh karena itu, dalam mendorong kesejahteraan rakyat, maka pemerintah Indonesia haruslah membuka lebar masalah lapangan pekerjaan. Apalagi di zaman sekarang pembangunan ekonomi sudah mengarah ke arah Industrialisasi, dimana banyak sekali Industri atau perusahaan-perusahaan yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Progres masalah ketenagakerjaan Indonesia sampai saat ini sudah mencapai peningkatan yang cukup lumayan.
            Pembangunan ketenagakerjaan sendiri merupakan program pemerintah yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945, dimana pembangunan ketenagakerjaan ini bertujuan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, dengan memberikan pemerataan kesempatan kerja yang sesuai dan memberdayakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
            Selebihnya, untuk mengetahui hak-hak dan kewajiban tentang masalah tenaga kerja, sudah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dimana didalam undang-undang tersebut membahas mengenai peraturan, hak, dan kewajiban dalam menjalin hubungan kerja, khusunya mengatur tentang tenaga kerja atau buruh.
            Pengertian ketenagakerjaan menurut UU RI No.13 tahun 2003, pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa “ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Sedangkan pengertian dari tenaga kerja itu sendiri adalah meneurut UU RI No.13 tahun 2003, pasal 1 ayat 2 bahwa Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
            Kemudian pengertian dari Pekerja/buruh menurut UU RI No.13 tahun 2003 pasal 1 ayat 3 adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan demikian merujuk pada UUD 1945 pasal 28D ayat 2, bahwa setiap pekerja/buruh dalam melakukan hubungan kerja harus mendapat imbalan. Imbalan yang dimaksud disini adalah upah.
            Menurut UU RI No.13 tahun 2003 pasal 1 ayat 30, menjelaskan bahwa “upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.
            Kebijakan pengupahan yang telah dijelaskan diatas, menurut UU RI No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 88 ayat 3, pengupahan yang diberikan kepada buruh  meliputi :


  1. Upah minimum
  2. Upah kerja lembur;
  3. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
  4. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
  5. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
  6. Bentuk dan cara pembayaran upah;
  7. Denda dan potongan upah;
  8. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
  9. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
  10. Upah untuk pembayaran pesangon; dan
  11. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
  12. Untuk mengetahui bagaimana Kebijakan yang diambil oleh pemerintah ketika para pekerja/buruh menuntut UMP naik hingga 50%.
  13. Dan bagaimana proses, prosedur, atau alur ketika akan mengambil kebijakan/keputusan penetapan UMP 2014.
  14. Identifikasi Masalah Kebijakan
  15. Penyusunan Agenda Kebijakan
  16. Perumusan Kebijakan
  17. Pengesahan Kebijakan
  18. Implementasi Kebijakan
  19. Evaluasi Kebijakan



Berbicara mengenai ketenagakerjaan dan pengupahan terhadap tenaga kerja, kini para pekerja atau buruh di Indonesia mempermasalahkan tentang Upah Minimum Provinsi (UMP), dimana para pekerja atau buruh menuntut upah minimum mereka pada tahun 2014 mendatang agar dinaikkan 50% dari upah minimum yang diterima saat ini (UMP 2013). Para pekerja atau buruh tersebut meminta kenaikan UMP karena merasa UMP pada tahun 2013 ini dirasa masih memberatkan para pekerja/buruh, karena adanya harga subsidi BBM yang naik, lebih-lebih adanya inflasi yang melanda Negara ini.
Kemudian para pekerja/buruh Indonesia juga menuntut agar dicabut Intruksi Presiden (Inpres) yang dikeluarkan pada 27 Sepetember 2013, diamana menurut para pekerja/buruh berpendapat bahwa isi dalam Inpres tersebut telah melanggar konvesi ILO Nomor 87 dan Nomor 98 serta bertentangan dengan UU Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja.[1] Dalam Inpres tersebut para pekerja/buruh berpendapat bahwa dalam pelaksanaannya nantinya akan berpotensi terjadi pelanganggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di lapangan, karena dalam Inpres tersebut menyatakan bahwa pihak dari Kepolisian RI turut campur dan terlibat dalam proses penetapan upah minimum. Selain itu para pekerja/buruh juga menolak pemikiran pemerintah yang menjadikan industri padat karya sebgai alasan, bahwa penetapan upah tak bisa naik tinggi karena harus mengikuti kemampuan industri padat karya.[2]
           

1.2 Rumusan Masalah
            Melihat apa yang dijelaskan di latar belakang masalah diatas tentang ketenagakerjaan dan pengupahan para tenaga kerja, maka Rumusan masalah yang diangkat adalah tentang bagaimana para pekerja/buruh menuntut UMP pada tahun 2014 naik hingga 50%, dan bagaimanakah kebijakan yang diambil oleh pemerintah dengan menaikkan UMP 2014 mendatang.

1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

Definisi Kebijakan Publik yang dikemukakan oleh Thomas Dye diartikan sebagai “whatever governments choose to do or not to do[3], atau dapat diartikan apapun pilihan yang diambil oleh pemerintah baik melakukan atau tidak melakukan sesuatu, itulah yang dinamakan kebijakan publik. Sedangkan dari David Easton dalam pemikirannya tentang kebijakan mengemukakan bahwa “a policy... consists of a web of decisions and action that allocate... values”[4], dapat diartikan kebijakan terdiri dari serangkaian keputusan dan tindakan untuk mengalokasikan nilai-nilai. Dari pengertian tersebut menjelaskan bahwa pemerintah memiliki hak otoritas yang sah dalam berbuat sesuatu pada masyarakat dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu dan diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai.
Selanjutnya menurut Thomas R. Dye, proses pengambilan kebijakan publik meliputi berbagai enam hal:
Pada intinya Kebijakan publik merupakan serangkaian keputusan dan pilihan dari pemerintah baik itu melakukan sesuatu maupun tidak melakukan sesuatu guna bertujuan untuk mencapai tujuan dari permasalahan yang diangkat tersebut. Dalam mengambil suatu keputusan atau kebijakan, ada proses-proses tertentu.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Thomas Dye yaitu pertama mengidentifikasi suatu masalah yang diangkat tersebut sehingga nantinya akan dibuat suatu kebijakan. Setelah Identifikasi permasalahan selesai, barulah dibuat agenda penyusunan kebijakan dari suatu permasalahan tersebut. Kemudian langkah selanjutnya adalah perumusan kebijakan, dimana merupakan tahapan pengusulan rumusan kebijkan melalui inisiasi dan penyusun usulan kebijakan tertentu atau yang berwenang dalam suatu masalah yang diangkat. Setelah  perumusan kebijakan terpenuhi, selanjutnya ke tahap pengesahan kebijakan, dimana usulan-usulan kebijakan tersebut disahkan untuk menjadi sebuah kebijkan publik yang baru.

            Berbicara mengenai kebijakan publik, akhir-akhir ini di negara kita sedang ramai masalah tentang para pekerja yang menuntut untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) hingga 50%. Para pekerja/buruh menuntut Upah yang naik 50% tersebut, direalisasikan pada UMP 2014. Dan tuntutan para pekerja/ buruh ini tidak main-main, terbukti adanya demo buruh besar-besaran yang menyerbu Gedung DPR RI, dan melakukan aksi mogok kerja pada masing-masing perusahaan.
            Upah Minimum menurut Peraturan Kementrian No.1 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1, Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Upah ini berlaku bagi mereka yang lajang dan memiliki pengalaman kerja 0-1 tahun, berfungsi sebagai jaring pengaman, ditetapkan melalui Keputusan Gubernur berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan dan berlaku selama 1 tahun berjalan. [5]
            Kemudian, menurut UU RI No.13 tahun 2003 Pasal 89 ayat 1 menjelaskan bahwa Upah Minimum, dibagi menjadi dua yang terdiri dari:
1.      Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/ kota.
2.      Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa UMP adalah suatu standard upah minimum berdasarkan wilayah provinsi tertentu, yang digunakan oleh para pengusaha, pelaku industri atau pemberi kerja untuk memberikan upah kepada pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja terhadap perusahaan. Dengan catatan bahwa upah yang diberikan kepada pekerja/buruh tersebut tidak boleh dibawah standard upah minimum provinsi yang telah ditetapkan.
            Kemudian lanjut pada permasalahan yang telah dihadapi oleh pemerintah saat ini, yaitu tentang masalah kenaikan UMP 2014 yang mencapai 50%. Para pekerja/buruh menuntut juga didasari karena adanya Intruksi Presiden (Inpres) No.9 tahun 2013 tentang Kebijakan penetapan upah minimum dalam rangka keberlangsungan usaha dan peningkatan kesejahteraan yang dikeluarakan pada tanggal 27 September 2013. Pada Inpres tersebut para buruh menganggap bahwa Intruksi yang disampaikan tidak pro terhadap para pekerja/buruh.
            Menurut para buruh, dalam Inpres tersebut banyak sekali poin-poin yang malah merugikan pihak para pekerja/buruh, seperti:
1.      Bagi daerah yang Upah minimumnya telah diatas KHL (Kebutuhan Hidup Layak), maka dilakukan perundingan Bipartit[6] antara pengusaha dan serikat pekerja untuk membahas kenaikan upah. Padahal dalam UU RI No.13 tahun 2003, Pasal 89 ayat 3 tentang Ketenagakerjaan telah dijelaskan bahwa penetapan upah minimum ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan atau daari Bupati/Walikota.
2.      Kedua, menurut pihak para serikat pekerja/buruh  pengeluaran Inpres tersebut bersifat Mubadzir, dengan alasan bahwa semua isi dari Inpres tersebut semuanya telah dijelaskan dalam UU RI No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Permenakertrans No. 13 tahun 2012, dan Permenakertrans No.01 tahun 1999 yang menyatakan tentang penetapan upah minimum didasarkan pada survey biaya hidup atau KHL.[7] Selain itu dalam Inpres tersebut juga bertentangan pada Undang-undang bahwa penetapan upah minimum dibawah KHL didasarkan  pada jenis industri padat karya dan non padat karya.
3.      Dan menurut serikat pekerja/buruh, Inpres tersebut melanggar konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98 serta bertentangan dengan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja. Serta berpotensi terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di lapangan karena dalam Inpres tersebut memerintahkan kepolisian RI turut campur dan terlibat dalam proses penetapan upah minimum.[8]
Dari keputusan Inpres tersebut, maka para pekerja/buruh melakukan aksi mogok nasional di masing-masing provinsi seluruh Indonesia pada tanggal 28-30 Oktober 2013.  Sebelumnya, para serikat pekerja/buruh telah melakukan aksi turun jalan dengan ribuan massa buruh yang terdiri dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan serikat pekerja lainnya mendatangi ke gedung DPR RI untuk menuntut kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2014 meningkat 50%.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan serikat pekerja mengusulkan kenaikan UMP tahun depan capai 50 %. Pihaknya menolak gagasan kenaikan UMP yang diusung pemerintah dan pengusaha yang mengedepankan kemampuan industri padat karya. Buruh berpatokan, UMP ditentukan oleh penambahan komponen kebutuhan kehidupan layak (KHL).[9]
Yang melatarbelakangi pihak pekerja/buruh dalam menuntut tuntutannya adalah selain dari Penolakan terhadap Inpres No. 9 tahun 2013, juga terdapat beberapa alasan lain, yaitu seperti:
1.      Jika saat ini pemerintah menggunakan 60 komponen dalam menentukan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), maka dari pihak serikat pekerja/buruh meminta agar tahun depan ditambah menjadi 84 komponen dalam KHL. Tambahan komponen yang dimaksudkan tersebut salah satunya seperti menganggarkan uang pulsa untuk SMS dengan alokasi dana Rp 30.000/bulan. Menurut pihak pekerja/buruh, saat ini pulsa untuk SMS sudah dirasa sangat mendasar, karena sudah merupakan kebutuhan sehari-hari dalam menunjang pekerjaan.
2.      Kemudian pekerja/buruh menolak kenaikan UMP hanya sebesar inflasi atau dibawah 20% seperti yang diusulkan Menteri Perindustrian MS Hidayat dan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi.[10]
3.      Yang menjadi alasan untuk menuntut agar kenaikan UMP 2014 mencapai 50% adalah, para pekerja/buruh berpendapat bahwa harga BBM yang saat ini naik, serta tingkat inflasi tahun ini yang mencapai sekitar 10% tersebut dirasa telah sangat memeberatkan para pekerja/buruh dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
4.      Para pihak pekerja/buruh juga berpegang pada komitmen pemerintah seperti yang pernah  disampaikan pada pidato kenegaraan Presiden SBY yang mengatakan Indonesia masih menjadi tujuan investasi, pemerintah Indonesia tak lagi menganut kebijakan upah buruh murah dan mendorong meningkatkan daya beli masyarakat Indonesia.[11] Dari pernyataan tersebut, berarti seharusnya upah pekerja/buruh di Indonesia tergolong tinggi.
5.      Dan pihak para pekerja/buruh menolak apa yang disampaikan pemerintah pada Inpres No.9 tahun 2013 yang menjadikan Industri padat karya dan industri non padat karya sebagai tolak ukur terhadap kenaikan Upah minimum.
Tuntuan dari pihak para pekerja/buruh dengan menaikkan UMP 2014 meningkat hingga mencapai 50%, telah menimbulkan Pro dan Kontra baik dalam pihak-pihak yang bersangkutan maupun dari masyarakat pada umumnya.  Banyak pihak yang menentang atau tidak sepakat dengan apa yang dituntutkan oleh pihak pekerja/buruh. Seperti banyak pengusaha-pengusaha yang mengecewakan terhadap aksi para pekerja/buruh tersebut. Dari pihak pengusaha juga tidak tinggal diam, mereka berpendapat bahwa tidak ada salahnya jika dari pihak buruh menuntut kenaikan upah minimum, tetati jangan salahkan dari pihak pengusaha jika nantinya akan terjadi PHK besar-besaran. Pernyataan ini terlihat cukup logis melihat kondisi saat ini, dimana harga rupiah terhadap dollar menurun, harga barang dan jasa mahal, dan ditambah lagi kenaikan upah pekerja/buruh yang menuntut agar naik mencapai 50%. Hal ini yang memberatkan para pengusaha Indonesia untuk membayar upah pekerja/buruh jika kenaikan upah terlalu tinggi, belum lagi adanya isu tentang pencabutan subsidi listrik dari pemerintah terhadap kalangan industri besar.
Pro dan Kontra dari masing-masing pihak pun masih mewarnai permasalahan tentang UMP ini. Kemudian mengingat dan merujuk pada Intruksi Presiden (Inpres) No.9 tahun 2013 yang berlaku mulai tanggal 27 September 2013 tersebut, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) Muhaimin Iskandar menegaskan bahwa Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2014 akan ditetapkan dan diumumkan oleh masing-masing Gubernur di seluruh Indonesia secara serentak pada 1 November 2013. Penegasan ini tertuang dalam Peraturan Menakertrans  Nomor 7 Tahun 2013, yang ditandatangani oleh Muhaimin Iskandar pada 2 Oktober 2013, dan telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin pada 18 Oktober 2013 lalu.[12] Dalam Peraturan Menakertrans  Nomor 7 Tahun 2013, juga telah dijelaskan bahwa penetapan upah minimum didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Ketika sampai pada tanggal 2 November 2013, tercatat dari 34 Provinsi di Indonesia sebanyak 16 Provinsi yang telah menetapkan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) 2014. 16 provinsi tersebut adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Papua, Bengkulu, NTB, Banten, Kalimantan Selatan, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Riau, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara.[13] Dari data tersebut berarti masih kurang 18 Provinsi lagi yang belum menetapkan Upah Minimum Provinsi (UPM) tahun 2014.
           
            Dari semua penjelasan diatas dapat digambarkan bahwa dalam pengambilan kebijkan mengenai Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2014, dapat melalui cara apa yang dikemukakan oleh Thomas R Dye dalam bagaimana cara mengambil suatu keputusan atau kebijakan, yaitu pemerintah mengidentifikasi terlebih dahulu apa yang dipermasalahkan oleh Para pekerja/buruh yaitu dengan menuntut agar UMP 2014 naik 50% dari UMP sebelumnya dengan alasan yang telah dijelaskan diatas. Kemudian dari pihak pemerintah melalui Intruksi Presiden No.9 tahun 2013, memrintahkan kepada Gubernur tiap provinsi agar segera menentukan UMP tahun 2014 dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang Undang ketenagakerjaan. Selain itu melalui  Peraturan Menakertrans  Nomor 7 Tahun 2013 menegaskan bahwa Penetapan UMP serentak diumumkan pada tanggal 1 November 2013.
            Setelah membuat penyusunan agenda kebijakan, langkah selanjutnya adalah merumuskan kebijakan. Diamana dalam hal ini rumusan kebijakan diusulkan oleh Dewan Pengupahan Provinsi setelah melakukan survey biaya tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang terdiri dari 60 komponen dalam menentukan upah minimum, yang selanjutnya akan di berikan atau diusulkan kepada Gubernur untuk diperhatiakan, dipertimbangkan, dan diputuskan sebagai kebijakan Upah Minimum Provinsi (UMP). Perumusan ini sebenarnya bersifat tripartite, diamana terdapat forum komunikasi antara pihak pemerintah, penguasaha, dan pekerja/buruh guna untuk mendapatkan tujuan dan kesepakatan/konsensus .
            Kemudian setelah melakukan perumusan kebijakan dengan memperhatikan usulan atau rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi, Gubernur memutuskan mengenai Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2014, diamana keputusan tersebut akan menjadi pedoman atau dasar standard Upah Minimum Provinsi tersebut. Keputusan ini yang merupakan tahap pengesahan kebijakan.
            Dan setelah pemerintah (dalam hal ini Gubernur) menentukan kebijakan UMP 2014 dari masing-masing provinsi, kini selanjutnya akan di kembalikan pada public dalam melakukan Implementasi Kebijakan tersebut. Setelah UMP 2014 ditetapkan, kini dikembalikan lagi kepada pihak bipartrit atau antara pengusaha/pemberi kerja dengan pekerja/buruh dengan melalui hubungan kerja yang baru. Hubungan kerja tersebut beruapa kontrak kerja antara perusahan dengan pekerja/buruh dengan jangka waktu tertentu yang telah disepakati bersama dan dengan pemberian upah tidak boleh kurang dari ketentuan UMP 2014.
            Yang terakhir dalam proses kebijakan publik adalah melakukan tahap evaluasi public oleh pemerintah dan lembaga pemerintah sendiri dalam menentukan suatu kebijakan yang telah diambil tersebut, apakah keputusan kebijakan yang dipilih oleh pemerintah tersebut berjalan sesuai harapan pemerintah dan rakyat, atau sebaliknya.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Mengenai masalah penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebenarnya dari pihak-pihak yang berkepentingan, dalam hal ini adalah pemerintah, pengusaha, dan buruh jangan terlalu saling merasa paling dirugikan. Sebenarnya buruh dalam menuntut haknya dengan meminta agar menaikkan tingkat strandar UMP dari sebelumnya adalah hal yang wajar, tetapi jika melihat dari tuntutan para pekerja/buruh yang meminta UMP tahun 2014 naik hingga 50% dengan berkaca keadaan perekonomian Indonesia saat ini, diarasa cukup memberatkan bagi pengusaha. Jika dari pihak para pengusaha mengeluh dan banyak yang kecewa terhadap tuntutan para pekerja/buruh tersebut cukup logis, karena melihat harga-harga barang produksi makin mahal, inflasi Negara mencapai 10%, belum lagi dengan isu yang beredar bahwa pemerintah akan mencabut subsidi listrik bagi kalangan industri besar. Keadaan yang seperti nantinya yang akan memberatkan para pengusaha, bahkan bisa saja akan menjadi boomerang bagi para pekerja/buruh.
            Dengan perusahaan dituntut membayar upah yang cukup tinggi, sedangkan perusahaan itu kesulitan dalam memenuhi tuntutan tersebut, bisa saja suatu perusahaan tersebut melakukan PHK besar-besaran dengan tujuan meminimalisir pengeluaran biaya untuk tenaga kerja. Jadi boleh saja pekerja/buruh menuntut UMP tahun 2014 naik hingga 50%, tapi harus diimbangi dengan progress kerja dan pelayanan kerja yang baik juga, agar tercapai titik keadilan antara pekerja dengan pemberi kerja.
            Melihat masalah ini, pemerintah dalam mengambil kebijakan cukup baik, jadi dalam mengambil ketentuan kebijakan masalah penetapan UMP ini tetap berpedoman pada Undang-undang Republik Indonesia No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, meskipun dalam Intruksi Presiden No.9 tahun 2013 terdapat pernyataan yang ganjil mengenai kenaikan UMP tersebut. Dalam pengambilan kebijakan penetapan UMP 2014 tetap pada pedoman kriterian standard Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dari masing-masing Provinsi. Diamana setiap Gubernur memutuskan tingkat UMP tahun 2014, didasari dari rekomendasi dan usulan dari Dewan Pengupahan Provinsi yang telah melakukan survey KHL.
            Setelah Upah Minimal Provinsi ini ditetapkan, kemudian Bupati/Walikota mengusulkan Upah Minimal Kota/kabupaten (UMK) yang nantinya akan diberikan kepada Gubernur untuk disahkan dan ditetapkan. Dengan catatan bahwa UMK harus lebih besar daripada UMP. Jika dalam suatu provinsi telah menetapkan UMP, dan suatu kota/kabupaten dalam satu provinsi tersebut juga telah menetapkan UMK (UMK lebih besar dari UMP) maka upah minimal yang berlaku adalah UMK. Tetapi jika tidak ada UMK, maka semua koat/kabupaten dalam satu provinsi tersebut upah minimum yang berlaku adalah UMP dari provinsi tersebut.
            Selain itu, sudah dijelaskan dalam UU RI No.13 tahun 2003 bahwa suatu perusahaan tidak boleh membayar upah dibawah upah minimum yang telah ditetapkan. Hal ini sering kali terjadi, suatu perusahaan memberikan upah terhadap para pekerja/buruh dengan tidak mencapai UMP yang telah ditetapkan. Perlu diketahui bahwa Upah Minimum meliputi Gaji Pokok (75 % dari total upah minimum) dan Tunjangan Pokok (25% dari total upah minimum).  Jadi perlu ditekankan bahwa jika gaji/upah yang diterima oleh pekerja/ buruh setiap bulannya gaji pokok + tunjangan tetap + tunjangan tidak tetap itu tidak setara dengan Upah Minimum yang seharusnya diterima.




[1]  http://bisnis.liputan6.com/read/714308/alasan-buruh-tolak-mentah-mentah-inpres-ump, diakses pada tanggal 04 November 2013.
[2]  http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/27926/buruh-tuntut-upah-naik-50-pada-2014.html, diakses pada tanggal 04 November 2013.
[3]  Joko Widodo, “Analisis Kebijakan Publik (Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik)”, Sidoarjo:2006, hlm. 13
[4]  Solichin Abdul Wahab, “Pengantar Analisis Kebijakan Publik”, Malang:2011. hlm. 35
[5]  http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/04/17/pengertian-upah-minimum-547095.html, diakses pada tanggal 04 November 2013.
[6]  Bipartit adalah adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.
[7]  http://bisnis.liputan6.com/read/714308/alasan-buruh-tolak-mentah-mentah-inpres-ump, diakses pada tanggal 04 November 2013.
[8]  Ibid.
[9]  http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/27926/buruh-tuntut-upah-naik-50-pada-2014.html, diakses pada tanggal 04 November 2013.
[10]  http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/27926/buruh-tuntut-upah-naik-50-pada-2014.html, diakses pada tanggal 04 November 2013.
[11]  Ibid.
[12]  http://www.setkab.go.id/berita-10832-1-november-seluruh-gubernur-harus-sudah-tetapkan-upah-minimum-provinsi-tahun-2014.html, diakses pada tanggal 04 November 2013.
[13]  http://setkab.go.id/berita-10917-sudah-16-provinsi-tetapkan-upah-minimum.html, diakses pada tanggal 04 November 2013.

1 komentar: