Kisah Seorang Ayah yang Mencuri Roti
Untuk Anaknya
(Menganalisis dengan Lima Konsep
Hukum)
Oleh: Andika Jaka P
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Analisis
Di dalam kehidupan bermasyarakat, manusia pasti saling berinteraksi atau
berhubungan satu sama lain sebagai makhluk sosial. Setiap Manusia dalam
melakukan aktivitas – aktivitas sosial pasti mempunyai kepentingan masing-masing.
Dan banyak kepentingan yang bertentangan dengan kehidupan masyarakat yang ada
disekitarnya. Hal ini dapat menimbulkan konflik dan perpecahan dalam
masyarakat.
Oleh karena itu, dalam hidup bermasyarakat diperlukan adanya peraturan hidup yang dapat mengatur pola
tingkah laku manusia dalam bertindak di dalam masyarakat. Peraturan hidup
kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertib
dalam masyarakat, dinamakan
peraturan
hukum atau
kaedah hukum.
Menurut J.C.T. Simorangkir,S.H. dan Woerjono Sastropranoto,S.H. di dalam
bukunya mengatakan bahwa hukum adalah,
“Peraturan-peraturan yang bersifat
memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang
dibuat oleh Badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap
peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman
tertentu.”
Hal ini merujuk pada sebuah kisah yang akan saya analisis, yakni sebuah
kisah tentang Seorang Ayah yang mencuri roti untuk anaknya yang menangis terus
karena kelaparan dan Si Ayah tersebut tidak berdya karena sudah seminggu
menganggur sejak dikeluarkan dari pekerjaannya. Akibat mencuri tersebut, Si
Ayah dihukum 8 tahun penjara. Dan sampai pada akhirnya dia akan bertobat.
Oleh karena itu, pada sebuah kisah ini saya akan menganalisis dengan Lima
Konsep hukum, diantaranya adalah Konsep hukum klasik, konsep hukum positivisme,
hukum dengan konsep sebagai keputusan hakim, hukum dengan konsep sebagai pola
perilaku sosial, dan hukum dikonsepkan sebagai simbol-simbol dengan makna
interpretasi para perilaku sosial.
- Permasalahan
Berawal dari Sebuah keluarga yang
Ayahnya baru saja terkena PHK. Kemudian anaknya yang masih bayi sudah semalaman
menangis kelaparan karena ibunya tidak dapat menyusuinya karena Si Ibu juga
sudah tidak makan dua hari. Melihat hal itu, Si Ayah tidak tega dan keluar
rumah untuk mencari makan anaknya, sehingga dia sampai mencuri sebongkah roti
dari sebuah toko. Hal itu diketahui Polisi. Dan Si Ayah pun diadili oleh
majelis hakim dan diberi hukuman maksimal 8 tahun penjara sesuai dengan pasal
362 KUHP. Setelah bebas dari penjara ia mencuri lagi dengan menganiaya. Tapi pada akhirnya ia pun sadar lalu bertobat.
Permasalahannya adalah Pertama, apakah Si Ayah berhak ditangkap
oleh polisi, kedua Si Ayah diberi
hukuman 8 tahun penjarara oleh hakim. Dan yang ketiga, dapat
dibenarkankah perilaku Si Ustadz dalam membela Si Ayah dari jeratan hukum lagi,
sehingga Si Ayah akhirnya sadar dan bertobat. Dan masih banyak laagi
permasalahan-permasalahan yang dapat dianalisis melalui Lima Konsep Hukum ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
Dalam kisah ini terdapat tokoh-tokoh yang dapat dianalisis dengan melalui
Lima Konsep Hukum, diantaranya yaitu melalui Konsep Hukum Klasik, Konsep Hukum
Positivisme, Hukum dengan Konsep Sebagai Keputusan Hakim, Hukum dengan Konsep Sebagai
Pola Perilaku Sosial, dan Hukum Dikonsepkan Sebagai Simbol-Simbol dengan makna
interpretasi para perilaku sosial.
- Konsep Hukum Klasik
Konsep Hukum Klasik ini
berdasarkan atas azaz keadilan yang dipercaya bernilai universal dan menjadi
bagian inheren system hukum. Aliran hukum klasik melihat kejahatan adalah hasil
dari perbuatan berdasarkan kebebasan moral. Beberapa ahli teori klasik
menegaskan bahwa kejahatan merupakan kesalahan dan harus bertanggungjawab
secara moral, untuk itu pelanggar harus menerima hukuman yang sesuai dengan
nilai moral yang hidup di masyarakat sebagai suatu tindakan pembalasan atas
tindakan kejahatan yang telah dilakukannya.
Dalam kisah kasus ini, pencurian
roti yang dilakukan seorang Ayah demi untuk memberi makan anaknya yang sudah
semalaman menangis kelaparan itu
merupakan perbuatan yang terpaksa karena keadaan yang tidak diinginkan. Dan
jika mengacu pada konsep ini, Si Ayah sebagai pelaku pencuri roti harus
bertanggung jawab secara moral atas kesalahan yang telah ia perbuat. Dan bentuk
hukuman yang diberikan sesuai dengan nilai moral yang ada dalam masyarakat,
seperti mendapatkan sanksi sosial berupa pengucilan, membayar denda, dan
lain-lain. Selain itu juga perlu adanya pertanggungjawaban moral dengan bentuk
permintaan maaf Si Ayah kepada pemilik toko roti yang ia curi tersebut. Hal ini
dapat melalui dengan cara mediasi dari pihak kepolisian ataupun secara
kekeluargaan.
- Hukum dengan Konsep Positivisme
Hukum dengan norma-norma undang-undang positif yang berlaku umum in Abstracto
pada suatu waktu tertentu dan di wilayah tertentu. Menurut hukum positivistik,
hukum sama dengan norma-norma positif yaitu norma yang dibuat oleh badan
legislasi yang dianggap sebagai hukum umum seperti undang-undang.
Hukum menurut konsep ini adalah
apa yang ada menurut undang-undang, bukan apa yang seharusnya ada dalam hukum. Jadi,
hukum dalam konsep positivisme mengabaikan
nilai-nilai kebenaran, moral, kesejahteraan, bahkan terkadang jauh dari kata
keadilan.
Dari pernyataan diatas,
dapat disimpulkan bahwa hukum positivisme berpegang teguh pada peraturan hukum
yang diakui oleh Negara, yaitu seperti undang-undang. Jadi, seseorang dapat
dihukum jika seseorang tersebut melakukan suatu perbuatan yang dianggap
melanggar peraturan hukum atau undang-undang.
Bila kisah ini di analisa
melalui konsep ini, maka jika dilihat dari Si polisi yang menjalankan tugasnya
secara konsekuen dan professional sebagai aparat penegak hukum itu dinilai
sudah tepat ketika Si polisi menangkap Si Ayah (lelaki buruh) itu mencuri
sebongkah roti, karena perbuatan itu merupakan bentuk kejahatan suatu tindak
pidana dan melanggar undang-undang yang berlaku, yaitu melanggar pasal 362 KUHP
yang berbunyi “Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau
sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu
dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.”
Apalagi polisi dalam melakukan penangkapan tersebut, juga didsarkan adanya
barang bukti yaitu sebongkah roti yang dicuri tersangka (Si Ayah).
Tindakan polisi yang kedua
juga sudah tepat dalam menangkap dan mengintrogasi Si Ayah(lelaki buruh) yang
sebenarnya mencuri barang-barang Si Ustadz tersebut adalah sebuah tindakan
preventif akan terjadinya tindak kriminal ataupun pelanggaran hukum. Hal ini
dilakukan polisi karena Si polisi curiga terhadap barang-barang yang dibawa Si
Ayah yang dibungkus dengan selimut tersebut. Meskipun pada akhirnya Si Ayah
tidak terbukti mencuri karena adanya pembelaan Si Ustadz.
Dan mengenai tentang tindakan hakim yang memutuskan terdakwa
(Si Ayah) bersalah dan diberi hukuman penjara karena telah melanggar pasal 362
KUHP tentang pencurian itu saya rasa kurang tepat, karena sesuai dengan pasal
183 KUHAP yang isinya menyebutkan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah…”
Dari kutipan penjelasan
diatas, sudah jelas bahwa hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman pidana kepada
Si Ayah (lelaki buruh) tersebut, karena hanya ada satu alat bukti yaitu
sebongkah roti. Berarti dua alat bukti yang telah disebutkan dalam pasal 183
KUHAP tersebut tidak dapat terpenuhi. Jadi dalam keadaan seperti ini sebenarnya
Si Ayah tersebut dapat bebas dari hukuman pidana atau penjara.
Tetapi, dalam pandangan
lain sebenarnya Hakim juga benar dalam/dapat menjatuhkan pidana kepada Si Ayah
karena melanggar pasal 362 KUHP tersebut. Karena yang pada awalnya tidak terpenuhinya dua alat bukti
yang sah, karena hanya ada satu alat bukti berupa sebongkah roti, ini
sebenarnya dua alat bukti tersebut dapat terpenuhi dengan adanya keterangan
dari Si polisi yang waktu itu menangkap dan mengetahui ketika Si Ayah mencuri
roti. Hal ini sesuai dengan pasal 184 KUHAP yang dalam isinya adalah “Alat
bukti yang sah ialah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
keterangan terdakwa”.
Dengan ini, dua alat bukti tersebut sudah terpenuhi karena adanya alat bukti
berupa sebongkah roti dan keterangan saksi oleh polisi tersebut.
Dan jika kita berbicara
mengenai moral dan keadilan dri kisah ini yang didasari melaluai konsep
positivisme ini, sungguh jauh dari kata-kata moral dan keadilan. Hal ini dapat
kita lihat dari keputusan Si hakim dalam memberi hukuman maksimal 8 tahun
penjara. Meskipun memang Si Ayah tersebut benar terbukti melanggar hukum karena
mencuri roti, tapi dengan menghukum 8 tahun penjara tersebut sungguh tidak
sebanding dengan apa yang diperbuatnya. Padahal dalam kasus ini, sudah
dijelaskan diatas bahwa hukuman maksimal lima tahun, tapi hakim telah
memutuskan untuk menjatuhkan hukuman lebih dari hukuman maksimal lima tahun
tersebut. Terlepas dari adanya hak hakim dalam memutuskan perkara atau membuat
dan menciptakan hukum sendiri diluar undang-undang dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu (yurisprudensi) tersebut, saya berpandangan
bahwa hakim dalam kasus ini telah mengesampingkan nilai-nilai moral dan
keadilan. Sehingga keputusan hakim dalam kasus ini dinilai tidak adil.
- Hukum dengan
Konsep Sebagai Keputusan Hakim.
Konsep ini merupakan seluruh keputusan hakim “in Concerto” sebagaimana
yang tercipta dalam proses-proses pengadilan (judge made law). Keputusan hakim ini sering disebut Yurisprudensi. Yurisprudensi merupakan
sumber hukum dalam arti formil yang didasarkan atas suatu kenyataan bahwa
sering kali terjadi hakim memutuskan suatu perkara yang tidak langsung
didasarkan atas suatu peraturan hukum atau undang-undang yang sudah ada.
Menurut pasal 22 A.B.(Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie) :
“Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa
peraturan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau
tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili”.
Dari penjelasan diatas, kita tahu bahwa seorang hakim mempunyai hak untuk
membuat atau menciptakan peraturan sendiri apabila di dalam undang-undang
ataupun kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya dalam memutuskan
suatu perkara. Keputusan inilah yang disebut Yurisprudensi, dan jika dikemudian
hari ada suatu perkara yang serupa, maka keputusan hakim ini atau yang terdahulu
itu dapat dijadikan dasar keputusan yang sama pula oleh hakim lain terhadap
suatu perkara atau masalah yang sama.
Menurut konsep ini, dalam kisah ini terletak pada seorang majelis hakim
yang menerapkan ketentuan undang-undang
negara demi kepastian hukum, dengan keyakinan bahwa hukum harus ditegakkan
tanpa kompromi tersebut dengan memberikan hukuman penjara terhadap Si Ayah(lelaki
buruh) yang mencuri sebongkah roti tersebut. Padahal, dalam pasal 362 KUHP
telah dijelsakan bahwa pencurian ini hanya termasuk ‘pencurian biasa’ dan
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. Tetapi hakim disini dalam memberi hukuman yang
maksimal 8 tahun tersebut, tentunya Si hakim juga mempunyai alasan ataupun
pertimbangan tersendiri dalam memutuskan suatu perkara. Yang menjadi
pertimbangan hakim tersebut yaitu hakim menganggap bahwa roti yang dicuri itu
termasuk barang dagangan yang terbilang penting bagi kepentingan orang banyak
dan belum menjadi barang penting untuk perseorangan. Inilah yang menjadi alasan
Si hakim untuk memberi hukuman maksimal kepada Si Ayah.
D. Hukum dengan Konsep Sebagai
Pola Perilaku Sosial
Menurut Aliran Sosiologis Hammaker, Eugen Ehrlich dan Max Weber Hukum
merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Dan hukum merupakan gejala
masyarakat, karena perkembangan hukum itu sesuai dengan perkembangan yang ada
dalam masyarakat.
Hukum dengan konsep sebagai pola perilaku social yang dimaksud adalah
hukum sebagai institusi social yang riil dan fungsional di dalam system
kehidupan bermasyarakat. Dalam konsep ini hukum tersimak dalam wujud
manifestasi yang actual sebagai perilaku manusia dalam kehidupan mereka yang
riil dalam masyarakat (law as it is in
society) dan hal ini banyak dikaji dalam Sosiologi Hukum.
Dan bagi orang-orang yang menganut konsep sosiologi hukum tidak boleh bersifat
apriori dengan arti seperti pada pelaku suatu tindak pidana tidak bisa dimaknai
sebagai orang yang selalu jahat. Hal ini mengacu pada kisah ini, yaitu bahwa Si
Ayah(lelaki buruh) yang mencuri roti dan mencuri barang-barang Si Ustadz
tersebut bukanlah orang yang jahat ataupun orang yang berjiwa kriminal, tetapi
Si Ayah melakukan hal tersebut karena ingin memenuhi kebutuhan anak dan
keluarganya untuk bertahan hidup. Perbuatan ini juga dikarenakan oleh
keterpaksaan adanya keadaan social yang tidak memungkinkan. Dan seharusnya
perkara biasa seperti ini tidak harus sampai ke ranah hukum, tapi cukup
diselesaikan dengan cara damai ataupun kekeluargaan, dan biarkan masyarakat
memberikan sanksi social yang berlaku dalam masyarakat, dan tentunya juga dalam
pengawasan pihak kepolisian.
Tetapi dalam kasus tersebut, Si Ayah diberi hukuman penjara dengan
hukuman maksimal 8 tahun. Padahal apa yang dilakukan oleh Si Ayah ini tidak
sebanding dengan sanksi hukum yang diterimanya. Dalam konsep sosiologi, hal
tersebut telah jauh dari nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Selanjutnya, disisi lain, peran aparat penegak hukum disini, dalam hal
ini polisi dan hakim adalah sebagai kontrol atau pengendali social terhadap
fenomena atau tingkah laku manusia dalam masyarakat. Ini dilakukan seperti saat
polisi menangkap Si Ayah yang sedang mencuri roti, dan Si hakim yang memberi
hukuman penjara kepada Si Ayah. Hal ini bertujuan sebagai peran dan fungsi dari
pengendalian sosial, agar Si Ayah dapat sadar dan merubah tingkah atau pola
perilaku sosialnya dalam bermasyarakat.
- Hukum
Dikonsepkan Sebagai Simbol-Simbol dengan Makna yang Tercipta Sebagai Hasil
Interpretasi (Individual atau Kolektif ) Para Pelaku Sosial.
Dalam konsep ini, hukum bukan norma positif yang tertuang dalam
undang-undang, tetapi terinterpretasi dalam mereka yang awam dan terekam dalam
benak-benak para pelaku social. (law as
it is in human interaction).
Jika kisah ini dianalisis menggunakan konsep ini, maka mengacu pada
perilaku Si Ustadz yang mencoba menolong seseorang yang malang (Si Ayah) tetapi
berani-beraninya ia meberikan keterangan atau kesaksian palsu kepada seseorang
hamba hukum (polisi) tersebut.
Hal ini dilakukan Si Ustadz karena ia tahu dan merasa iba, karena Si Ayah
tersebut tidak punya apa-apa dan ia ingin segera pulang menemui keluarganya
yang lama terpisah dan ingin membangun kembali kehidupan yang baru bersama
keluarganya tersebut. Karena yang dialkukan Si Ustadz ini mulia dan semi tujuan
yang baik, Si Ayah(lelaki buruh) tersebut sadar akan kesalahan yang
diperbuatnya selama ini, lalu ia meminta maaf dengan memeluk kaki Si Ustadz
tersebut dan menyerukan niat bertobat dengan memohon ampunanNya.
Perbuatan Si Ustadz yang sangat mulia ini merupakan murni muncul dari
benak pikiran dan hatinya untuk mengikhlaskan barang-barang yang diambil Si
Ayah tersebut karena merasa iba dan ingin melindungi Si Ayah dari jeratan hukum
walaupun dengan cara yang salah, yaitu melindungi atau menyembunyikan orang
yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam kehidupan bermasyarakat, perlu
adanya suatu norma-norma atau peraturan hukum yang dibuat sebagai kontrol
social dalam menentukan pola dan tingkah laku yang dilakukan manusia dalam
kehidupan sosial bermasyarakat. Karena peraturan hukum yang dibuat itu bersifat
mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh mentaatinya, maka tujuan
dari dibentuknya peraturan hukum itu sendiri adalah demi menjamin keseimbangan
dan kelangsungan dalam berhubungan antar masyarakat serta untuk menjamin adanya
kepastian hukum demi keadilan.
Pada dasarnya hukum dan keadilan itu
tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi dengan adanya Lima Konsep Hukum tersebut,
masing-masing mempunyai pandangan hukum tersendiri. Diantaranya ada yang
berpandangan hukum mengacu pada peraturan hukum yang berlaku dan terkadang mengesampingkan
rasa keadilan (Positivisme), hukum berdasarkan moral (klasik), hukum dibuat dan
diputuskan berdasarkan keputusan hakim (yurisprudensi), hukum sebagai perilaku
social atau sosiologi hukum yang berpandangan bahwa orang yang melakukan
kejahatan tidak dapat dikatakan atau dilabeli sebagai orang jahat, karena
menilai dari berbagai sisi social/latar belakang, dan sebagai symbol dengan
makna yang tercipta sebagai interpretasi individual atau kolektif yaitu bisa
berasal dari hati nurani pelaku social.
Melihat dari kisah kasus ini, memang
Negara Indonesia menganut hukum positif/positivisme. Tujuannya adalah ingin
mencapai kepastian hukum, dan hukum yang berdasarkan undang-undang ataupun
berdasarkan pada sumber-sumber hukum formal, termasuk Yurisprudensi. Di luar
ketentuan tersebut, itu bukan merupakan hukum. Jadi hukum harus ditegakkan
tanpa melihat dari adanya unsur sosial, ekonomi, politik, bahkan kekuasaan
sekalipun.
Oleh karena itu, dalam kasus ini Si
Ayah tetap dihukum dengan hukuman penjara maksimal 8 tahun karena melanggar
hukum, meskipun hanya mencuri sebongkah roti demi memberi makan anaknya yang menangis
kelaparan. Sehingga hukum harus ditegakkan dan Si Ayah harus menjalani proses
hukum yang berlaku.
Tetapi, perkembangan hukum harus
juga mengikuti perkembangan yang ada di tengah masyarakat, sehingga
pranata/peraturan hukum yang ada dapat mengatasi semua masalah hukum dengan
adanya kepastian hukum, tanpa mengenyampingkan nilai-nilai keadilan yang ada
dalam masyarakat.
DAFTAR
REFERENSI
Drs. C.S.T. Kansil,S.H. , Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , Balai Pustaka,
Jakarta, 1984
Samidjo, S.H. , Pengantar
Hukum Indonesia, CV.ARNICO, Bandung, 1985
Hartono Hadisoeprapto,S.H. Pengantar Tata Hukum Indonesia (PTHI), Liberty, Yogyakarta, 1982
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,
Jakarta, 1999
Johni Najwan, S.H., M.H., Ph. D., Implikasi Aliran Positivisme Terhadap
Pemikiran Hukum (Jurnal)
http://hukum.kompasiana.com
/materi-sosiologi-hukum-awal-pengantar.html
https://negarahukum.com
Syaiful Bakhri, Pengaruh
Aliran-Aliran Falsafat Pemidanaan dalam Pembentukan Hukum Pidana Nasional,
Jurnal Hukum NO. 1 VOL. 18 Januari 2010:
136 – 157.