Pages

Selasa, 23 April 2013

Inti Teori Sosiologi Talcot Parsons, Karl Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim


Talcot Parson
-           Talcot Parson menuliskan masalah konsep kekuasaan politik di dalam satu analisanya bahwa ‘Kekuasaan adalah kapasitas umum untuk menjamin pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang mengikat oleh unit-unit di dalam suatu sistem organisasi kolektif ketika kewajiban-kewajiban itu diabsahkan sehubungan dengan sikap mereka demi mencapai tujuan bersama...1
-     Stratifikasi sosial memiliki peranan penting bagi masyarakat dalam mengatasi keterbatasan mereka. Jika setiap orang diperlakukan sama dan memiliki derajat yang sama, peranan pemimpin yang diperlukan suatu masyarakat untuk mengatasi tantangan dan permasalahan dalam kehidupan sosial tidak ada lagi. Parson juga berpendapat bahwa semakin kontemporer dan kompleks suatu masyarakat, semakin unggul efektivitas organisasinya. 2

 Karl Marx
-           Perubahan sosial terjadi karena perkembangan teknologi atau kekuatan produktif, dan hubungan antara kelas-kelas sosial yang berubah. 3
-          Munculnya stratifikasi sosial dalam masyarakat industri disebabkan oleh faktor kepemilikan modal. Hal inilah yang menempatkan seseorang pada kelas borjuis atau proletar. 4
-          Dalam teori kelas, Perkermbangan pembagian kerja dalam ekonomi kapitalisme dibagi menjadi dua kelas yang berbeda, yaitu kaum borjuis dan kaum proletar. Menurut Marx, suatu saat kaum proletar akan menyadari kepentingan bersama mereka sehingga bersatu dan memberontak terhadap kaum kapitalis yang akan mengakibatkan terhapusnya pertentangan kelas sehingga masyarakat proletar akan mendirikan masyarakat tanpa kelas. 5

 Max Weber
-           Demokrasi langsung hanya dapat diterapkan di dalam masyarakat yang kecil dan relatif sederhana. Bagi weber nilai demokrasi perwakilan terletak pada fakta bahwa demokrasi memungkinkan pemilihan pemimpin-pemimpin politik secara efektif. 6
-           Menurut Weber dalam teori tindakan sosial, suatu tindakan manusia dikatakan sebagai tindakan sosial apabila mempunyai arti subyektif. 7

 Emile Durkheim
-          Dalam teori solidaritas, Durkheim membagi dua tipe utama solidaritas, yaitu solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Solidaritas mekanis didasarkan atas persamaan dan hati nurani kolektif, serta ada pada masyarakat yang masih sederhana dan mempunyai struktur sosial bersifat segmenter. Sedangkan solidaritas organis yang didasarkan atas keragaman fungsi-fungsi demi kepentingan keseluruhan dan juga didasarkan pada hukum dan akal. 8
-          Di dalam teori evolusi, perubahan karena evolusi mempengaruhi cara pengorganisasian mesyarakat, terutama yang berhubungan dengan kerja. 9



 ----------------------------------------

1.        Tom Bottomore, “Sosiologi Politik”, hal. 76
2.        Ng. Philipus dan Nurul Aini, “Sosiologi dan Politik”, hal 78
3.        Idem, hal. 56
4.        Idem, hal. 86
5.        Idianto Mu’in, “Sosiologi SMA kelas X”, hal. 18 
6.        Tom Bottomore, “Sosiologi Politik”, hal. 8-9
7.        Idianto Mu’in, “Sosiologi SMA kelas X”, hal. 20
8.        Idem, hal. 17-18
9.        Idem, hal. 87

Sumbangan Teori Erving Goffman dengan Teori Dramaturgi


Teori Erving Goffman
 Erving Goffman mengungkapakan teori Presentation of  Self atau disebut juga sebagai Dramaturgi. Konsep dramaturgi menurut Erving Goffman adalah, dimana ia memandang kehidupan sosial merupakan seperti pertunjukan drama pentas.[1] Dengan kata lain, Goffman menggambarkan peranan orang-orang yang berinteraksi dan berhubungan dengan realitas sosial yang dihadapinya melalui panggung sandiwara dengan menggunakan skrip (jalan cerita) yang telah ditentukan.[2]

Menurut Erving Gofffman, di dalam situasi sosial, seluruh aktivitas dari partisipan tertentu adalah suatu penampilan(performance), sedangkan orang lain yang terlibat dalam situasi sosial disebut sebagai pengamat atau partisipan lainnya.[3]

Individu dapat menampilkan suatu pertunjukan bagi orang lain, tetapi kesan pelaku terhadap pertunjukan tersebut dapat berbeda-beda.[4] Jadi seseorang dapat bertindak atau menampilkan sesuatu yang diperlihatkannya, tapi belum tentu perilaku sehari-harinya tidak sama seperti apa yang diperlihatkannya tersebut.

Menurut Erving Goffman, dalam dramaturgi perlu dibedakan antara panggung depan (front stage) dengan panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah bagian penampilan individu yang secara teratur berfungsi sebagai cara untuk tampil didepan umum sebagai sosok yang ideal.[5] Sedangkan panggung belakang adalah bagian penampilan individu yang tidak sepenuhnya dapat dilihat, hal ini dapat memungkinkan bahwa tradisi dan karakter pelaku sangat berbeda dengan apa yang dipentaskan.

Goffman membagi panggung depan (front stage) ini menjadi dua bagian yaitu, front pribadi (personal front) dan setting front pribadi. Personal front mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh pelaku.[6] Misalnya, berbicara dengan sopan, pengucapan istilah-istilah asing, berbicara dengan intonasi tertentu, bentuk tubuh, ekspresi wajah, pakaian, dan sebagainya. Sedangkan setting front pribadi seperti alat-alat yang dianggap sebagai perlengkapan yang dibawa pelaku ke dalam penampilannya.[7] Misalnya seorang dokter mengenakan jas dokter dan stetoskop.

Dalam teori Dramatugi menjelaskan bahwa identitas manusia itu tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain.[8]

Goffman membuat kategori tentang stigma, yaitu orang yang direndahkan (stigma diskredit) dan orang yang dapat direndahkan (discreditable stigma).[9] Orang yang direndahkan adalah orang yang memiliki kekurangan yang dapat dilihat dengan kasat mata, misalnya seperti orang cacat fisik, orang buta, dll. Sedangkan orang yang dapat direndahkan adalah orang yang memiliki aib yang tidak dapat dilihat secara langsung, misalnya seperti orang yang suka sesama jenis.

          Analisis framing merupakan situasi yang dibentuk sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi yang mengatur peristiwa-peristiwa seperti peristiwa sosial, dan keterlibatan subyetif kita di dalamnya. Dengan arti, kita belajar memaknai suatu peristiwa tertentu dan realitas sosial sesuai dengan pengalaman yang telah kita miliki dalam suatu organisasi sosial masyarakat yang kemudian menjadi tindakan kita.[10]




[1]  Dadang Supardan, pengantar ilmu social:sebuah kajian pendekatan structural, Jakarta: 2007, hal. 158
[2]  Idem, hal. 158
[3]  Idem, hal. 158
[4]  http://sufyan-ahamad-fisip11.web.unair.ac.id
[5]  Dadang Supardan, pengantar ilmu social:sebuah kajian pendekatan structural, Jakarta: 2007, hal. 158
[6]  Idem, hal. 158
[7]  Idem, hal. 158
[8]   http://sufyan-ahamad-fisip11.web.unair.ac.id
[9]   Dadang Supardan, pengantar ilmu social:sebuah kajian pendekatan structural, Jakarta: 2007, hal. 158
[10] Idem, hal. 158

Sumbangan Teori Anthony Giddens


Teori Anthony Giddens

Dalam teori strukturasi Anthony Giddens menyatakan bahwa kehidupan social lebih dari sekedar tindakan-tindakan individual, tetapi kehidupan sosial juga tidak hanya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sosial. Giddens berpendapat bahwa “Human Agency dan Struktur Social” berhubungan satu dengan yang lain, tindakan tindakan yang berulang (Repetisi) dari agen agen individu.[1]

Menurut Anthony Giddens, teori social memerlukan adanya rekonstruksi social yang berbeda dari mahzab sosiologi interpretative, fungsionalisme, dan strukturalisme. Untuk itu diperlukan rekonstruksi untuk mencapai ke arah yang disebut teori strukturasi.[2]

Giddens mengungkapkan bahwa praktik-praktik social harus dipahami sebagai kesesuaian antara ucapan dan tindakan. Rekonseptualisasi terhadap tindakan, struktur, dan system diawali dengan melihat praktik-praktik social yang terus berlangsung sebagai segi analitis terpenting yang akhirnya paraktik social dianggap sebagai basis yang menandai keberadaan pelaku dan masyarakat.[3]

Giddens menyebut bahwa, “social structures are both constituted by human agency, and yet at the same time are the very medium of this constitution”.[4] Jadi struktur sosial dilatarbelakangi oleh ‘human agency’, atau hubungan antara peraturan dan tindakan.

Bagi Giddens, peraturan bukanlah suatu rumusan yang terisolir, melainkan lebih merupakan pembangkit atau media bagi praktik-praktik social dan adanya ketergantungan antara struktur dan tindakan.[5]

Struktur hanya akan terwujud jika adanya aturan dan sumber daya. Struktur itu sendiri tidak ada dalam ruang dan waktu. Fenomena social mempunyai kapasitas yang cukup untuk menjadi suatu struktur. Giddens berpendapat “struktur hanya ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia”.[6]

Dalam Dualitas struktur, Giddens juga mengungkapakan bahwa suatu struktur memungkinkan adanya tindakan.[7] Jadi struktur merupakan sebuah sarana bagi tindakan, tapi pada saat yang sama struktur hanya dapat dihasilkan didalam dan melalui tindakan social.

Menurut Anthony Giddens Modernitas adalah hal yang bersifat multidimensional pada level institusonal dan saling berkaitan. Menurut Anthony Giddens ada 4 gugus modernitas yaitu, surveillance(pengawasan), kapitalisme, industrialisme, serta monopoli sarana-sarana kekerasan. Keempatnya tidak dapat dipisah-pisahkan serta memberi pengaruh timbal balik kepada nation- state.[8] Empat gugus ini yang disebut sebagai dimensi-dimensi institusional modernitas.




[1]  Priyandono WA journal’s, Teori strukturisasi dan kepemimpinan local, hal.70
[2] Dadang Supardan, “Pengantar Ilmu Sosial:Sebuah Kajian Pendekatan Structural”, Jakarta: 2007, hal. 159
[3]  Idem, hal. 160
[4]  Jamal Arie Vansyah, (Teori Strukturisasi, Modernitas, dan Jalan Ketiga) 2011
[5]  Dadang Supardan, ”Pengantar ilmu social:sebuah kajian pendekatan structural”, Jakarta:2007 , hal. 160
[6]  Robith Hamdany, jurnal transformasi kepemimpinan kharismatik menuju demokratisasi, 2012, hal.11
[7]  Dadang Supardan,  “Pengantar Ilmu Sosial:Sebuah Kajian Pendekatan Structural”, Jakarta: 2007, hal. 159
[8]  Nanang Indra Kurniawan, Jurnal (melacak pemikiran Anthony Giddens tenteng nation-state dan modernitas, volume.4 No.3,.Maret 2001, hal.342-343 

Bentuk dan Macam Ideologi


Bentuk-Bentuk Ideologi
            Ideologi dapat dipilah menjadi dua macam bentuk. Pertama, ideologi sebagai sistem pemikiran yang tertutup. Bentuk ini mengacu pada ideologi yang memonopoli kekuasaan, tidak mentolerir ide atau keyakinan yang bertentangan dengannya. Kedua, ideologi sebagai bentuk pemikiran yang terbuka. Dalam ideologi ini mengandung komitmen terhadap kebebasan, toleransi dan pengakuan terhadap kemajemukan dalam masyarakat (Heywood, 1998: 10).

Macam-Macam Ideologi
a). Liberalisme
Liberalisme adalah suatu ideologi atau ajaran tentang negara, ekonomi dan masyarakat yang mengharapkan kemajuan di bidang budaya, hukum, ekonomi dan tata kemasyarakatan atas dasar kebebasan individu yang dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya sebebas mungkin.
Neo-Liberalisme yang timbul setelah perang Dunia I berpegang pada persaingan bebas di bidang politik ekonomi dengan syarat memperhatikan/membantu negara-negara lemah/ berkembang.

b). Kapitalisme
Kapitalisme, dilihat dari sisi ekonomi diartikan sebagai sistem ekonomi di mana bahan baku distribusinya secara pribadi dimiliki dan dikembangkan. Sedangkan bila dilihat dari sisi politik, kapitalisme adalah sistem sosial berdasarkan hak asasi manusia.
Perkembangan ekonomi yang pesat di Eropa akibat Liberalisme menimbulkan suatu ideologi yang baru, yang bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan dalam pasar bebas. Ideologi ini disebut Kapitalisme. Eropa dan Timur Tengah pada Abad Pertengahan. Pada dasarnya inti dari merkantilisme dan kapitalisme sama, yaitu untuk mencapai keuntungan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, merkantilisme di Eropa berpadu dengan praktek ekonomi, yang kemudian disebut dengan kapitalisme.

c). Kolonialisme
Kolonialisme adalah paham tentang penguasa oleh suatu negara atas daerah/bangsa lain dengan maksud untuk memperluas wilayah negara itu. Faktor penyebab timbulnya kolonialisme: keinginan untuk menjadi bangsa yang terkuat, menyebarkan agama dan ideologi, kebanggaan atas bangsa yang istimewa, keinginan untuk mencari sumber kekayaan alam dan tempat pemasaran hasil industrinya.

d). Nasionalisme
            Nasionalisme merupakan salah satu ideologi yang berpengaruh di Eropa pada akhir abad ke-18 sampai dengan awal abad ke-20 dan di Asia-Afrika pada abad ke-20. Nasionalisme telah merepresentasikan diri sebagai ideologi yang berperan penting dalam pembentukan negara-bangsa (nation-state) di ketiga belahan dunia tersebut.
            Pembentukan negara-bangsa - sebagai tujuan nasionalisme - mensyaratkan adanya pemahaman tentang bangsa dalam arti modern. Bangsa dalam arti modern, dicirikan dengan adanya tanggung jawab politik bersama dari para anggotanya.
            Dalam sejarah, pembangunan bangsa sebagai kesatuan politis dilatar belakangi oleh gagasan kedaulatan rakyat ( merupakan reaksi dari gagasan kedaulatan raja yang bercorak absolut). Dari lahirnya gagasan kedaulatan rakyat maka dalam konteks kenegaraan, negara dipahami sebagai tatanan politik yang melembagakan kehendak rakyat. Adapun peran nasionalisme adalah sebagai ideologi yang mendorong kesadaran rakyat menjadi kesadaran nasional untuk menuju pembentukan negara-bangsa yang berdaulat.
            Di Eropa, perkembangan nasionalisme juga diiringi oleh ide-ide kedaulatan rakyat, liberalisme dan kapitalisme. Ketika nasionalisme, liberalisme dan gagasan kedaulatan rakyat telah berhasil mentransformasi bangsa-bangsa di negara-negara Eropa (khususnya Eropa Barat) menjadi bangsa bercorak politis yang terdiri dari kesatuan warga negara, maka negara-bangsa tak lebih dari sarana untuk melindungi kepentingan-kepentingan individu-individu warga negara.
            Nasionalisme dan liberalisme (dan kemudian diikuti oleh liberalisme dalam bidang ekonomi yaitu kapitalisme) yang berkembang di Eropa akhirnya mendorong intensitas konflik internasional yang dipicu oleh persaingan ekonomi disertai persaingan untuk melakukan ekspansi wilayah guna mendapat sumber bahan mentah.
            Nasionalisme dan kapitalisme di Eropa pada abad ke-18-19 telah melahirkan negara-bangsa yang kokoh dan dengan kekuatan negara ini pula, suatu bangsa dapat membangun koloni-koloni dan imperium. Semakin luas wilayah jajahan yang dimiliki maka semakin makmur suatu negara-bangsa.

e). Sosialisme
            Sosialisme adalah suatu ideologi yang menjadi gerakan yang hendak mengubah struktur kepemilikan masyarakat secara politis, serta ingin membangun suatu masyarakat baru atas dasar berbagai aliran dalam sosialisme. Pada Abad ke-19 dan ke-20, sosialisme merupakan salah satu jawaban terhadap krisis sosial akibat industrialisasi dan cara produksi kapitalis. Sosialisme berpendapat bahwa manusia sebenarnya tak hanya bersifat egoistis, melainkan juga sosial. Manusia mampu mewujudkan hidup dalam kebersamaan yang akrab asal diberi kesempatan.
            Ciri khas sosialisme ialah tuntutan penghapusan atau pembatasan hak milik pribadi sebagai sarana utama untuk membangun suatu masyarakat yang sekaligus bebas dan selaras. Cara mencapai tujuan berbeda-beda menurut macam-macam aliran sosialisme. Sosialisme ada yang ateis dan ada yang religius. Sosialisme Marxis (Karl Marx 1818-1883) yang menganggap dirinya sebagai “sosialisme ilmiah” bersifat ateis. Sosialisme tidak identik dengan Marxisme. Sosialisme yang bersumber pada ideologi Pancasila adalah sosialisme yang relegius. Hak milik perseorangan diakui tetapi mempunyai fungsi sosial.

f). Marxisme
            Marxisme sebagai suatu ideologi timbul karena munculnya kapitalisme yang menimbulkan perbedaan kelas dalam masyarakat. Hal itu menyebabkan penderitaan kaum proletar, sedangkan kaum borjuis semakin kaya. Sementara dalam Marxisme tidak mengenal perbedaan kelas. Perekonomian negara dan hak milik bersama diatur oleh negara. Landasan filosofi ideologi Marxisme adalah materialisme, karena menurut Marx dan Engels dalam kehidupan ini, "yang primer" dianggap sebagai materi.

g). Fasisme dan Nazisme
            Istilah fasisme dikumandangkan pertama kali pada tahun 1919, tepatnya pada saat berdirinya gerakan Fasis di Italia. Selanjutnya, sebagai sebuah ideologi, fasisme mengacu pada ideologi yang diterapkan Mussolini di Itali pada tahun 1922-1939.
            Fasisme dan nazisme memiliki beberapa kesamaan konsep dasar sehingga nazisme sering disebut sebagai fasisme varian Jerman. Secara umum, fasisme dan nazisme bertitik tolak dari konsep-konsep dasar tentang 1) superioritas ras, 2) elit dan kepemimpinan yang karismatik, 3) negara totaliter, 4) nasionalisme, 5) sosialisme dan 6) militerisme (Hayes, 1973: 19).

h). Feminisme
            Feminisme sebagai suatu pemikiran dan gerakan lahir di sekitar abad ke-18, tepatnya setelah Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1792). Pemikiran ini lahir karena didorong oleh realitas di masyarakat, di mana posisi perempuan pada masa-masa tersebut kurang beruntung dibandingkan dengan posisi laki-laki. Pada masa ini, perempuan (baik dari kelas menengah – atas ataupun kelas bawah) tidak memiliki hak-hak seperti
1)   hak untuk mendapat pendidikan.
2)   hak untuk memilih dan dipilih (hak politik).
3)   hak untuk memasuki lapangan pekerjaan, khususnya pada perempuan dari kelas menengah–atas.
4)   hak atas harta milik, perempuan yang menikah tidak memiliki harta sendiri yang sah dan segala harta yang diperolehnya secara legal menjadi milik suaminya.
            Gerakan feminisme mula-mula berlangsung di Amerika Serikat yang kemudian menyebar ke Perancis dan Inggris. Gerakan ini dimotori oleh perempuan kelas menengah-atas dengan tuntutannya yang terkenal yaitu kesetaraan hak dengan laki-laki di dunia kerja, lapangan pendidikan dan hak untuk memilih dan dipilih. Salah satu tokoh pemikir yang berpengaruh dan berperan dalam mendorong kesadaran akan nasib perempuan pada saat itu adalah Mary Wallstonecraft dari Inggris.

i). Ekologisme
            Semenjak berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Timur di akhir tahun 1990-an, isu-isu global didominasi oleh isu-isu tentang globalisasi, ledakan populasi, kemisikinan di Dunia Ketiga dan lingkungan hidup. Sebagai isu global, masalah lingkungan hidup merupakan salah satu yang terpenting. Hal ini dapat dilihat dari diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tentang lingkungan dan pembangunan pada tahun 1992 di Rio de Jeneiro.
            Untuk mendalami masalah lingkungan ini maka ditampilkan satu ideologi yaitu ekologisme atau ekologi politik. Di sini perlu dibedakan antara ekologisme dan environmentalisme. Keduanya peduli terhadap lingkungan hidup namun perbedaannya terletak pada cara pandang. Kelompok environmentalis bertindak berdasarkan gejala kerusakan lingkungan, sementara kaum ekolog lebih menekankan pada keterkaitan faktor-faktor ekonomi dan politik dengan degradasi lingkungan sehingga menimbulkan keyakinan bahwa kerusakan alam bisa diperbaiki melalui kerjasama dengan para industrialis.
            Sebagai sebuah ideologi politik kontemporer, ekologisme merupakan reaksi terhadap proses industrialisasi yang cenderung memperluas produksi dan konsumsi tanpa mempedulikan keterbatasan bumi.

Agresi Militer Belanda I dan II


Agresi Militer Belanda I

Agresi Militer Belanda I disebabkan karena adanya perselisihan pendapat akibat perbedaan penafsiran dalam melaksanakan Perjanjian Linggarjati menimbulkan konflik antara Indonesia dan Belanda. Belanda berpatokan pada pidato Ratu Wilhelmina pada 7 Desember 1942 bahwa Indonesia akan dijadikan anggota Commonwealth negeri Belanda.
Pada 27 Mei 1974, Belanda mengeluarkan nota protes berupa ultimatum yang harus dijawab pemerintah Indonesia dalam waktu 14 hari. Nota ultimatum tersebut dibalas oleh pemerintah Indonesia dengan penolakan yang disampaikan oleh Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin. Karena tidak mencapai kesepakatan terhadap nota tersebut, akibatnya pada 21 Juli 1947, tengah malam, Belanda melancarkan serangan ke seluruh daerah di Republik Indonesia. Operasi yang diberi label “aksi polisional” itu sebenarnya adalah sebuah agresi militer yang dikenal sebagai Agresi Militer I.
Pasukan-pasukan Belanda bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menguasai Jawa Barat dan dari Surabaya untuk menguasai Madura dan wilayah Jawa Timur serta satu pasukan lagi untuk menduduki Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan dalam di Jawa. Sedangkan di Sumatra, pasukan belanda berusaha menguasai perkebunan-perkebunan di sekitar Medan. Instalasi miyak dan batu bara di Palembang dan disekitarnya juga diserang dan dikuasai.
Pasukan TNI memutuskan mundur ke pedalaman sambil menjalaankan taktik bumi hangus dan taktik gerilya. Sistem wehrkreise (lingkaran pertahanan) diterapkan untuk menggantikan sistem pertahanan linier. Dengan taktik itu, Belanda hanya mampu bergerak di kota-kota dan di jalan raya. Sementara itu, wilayah/ daerah pedalaman lainnya dikuasai sepenuhnya oleh TNI.
Seranagan Belanda ini menimbulkan reaksi internasional. Pada tanggal 31 Juli 1947 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mendesak agar kedua belah pihak segera menghentikan pertempuran dan mengadakan perundingan. Sesuai dengan resolusi tersebut, tanggal 4 Agustus 1947 Presiden Sukarno dan Jenderal Spoor sebagai panglima tentara Belanda di Indonesia, mengeluarkan perintah penghentian tembak-menemabak.

Agresi Militer II

Sehubungan dengan gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia, tanggal 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk Komisi Konsuler dan Komisi Jasa Baik (KTN) yang bertugas membantu penyelesaian sengketa antara Belanda dan Indonesia. Kemudian tanggal 8 Desember 1947, KTN membawa Indonesia dan Belanda untuk melaksanakan perundingan Renville.
Situasi dalam negeri Indonesia yang sedang menghadapi pemberontakan PKI pada saat itu, dapat dimanfaatkan oleh Belanda. Pada 18 Desember 1948 malam, Dr. Beel memberitahukan kepada delegasi RI dan Komisi Tiga Negara (KTN) bahwa Belanda tidak lagi terikat dan tidak mengakui Persetujuan Renville. Keesokan harinya, tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresi militer yang kedua kalinya. Sasaran Belanda langsung ditujukan untuk menguasai ibu kota RI di Yogyakarta. Dengan taktik perang kilat, Belanda juga menyerang wilayah RI lainnya.
Serangan diawali dengan penerjunan pasukan payung di Pangkalan Udara Maguwo (Adisucipto) dan pengeboman beberapa tempat di Yogyakarta. Dalam waktu singkat, pasukan Belanda berhasil menguasai Yogyakarta sebagai ibu kota RI saat itu. Pimpinan dan beberapa  pejabat tinggi, seperti presiden, wakil presiden, kepala staf angkatan udara, dan beberapa pejabat tinggi leinnya ditawan oleh Belanda. Presiden Sukarno diasingkan di Parapat (Sumatra Utara) kemudian ke Bangka. Wakil Presiden Mohammad Hatta dibuang ke Bangka.
Sebelum Sukarno ditangkap, kabinet sempat bersidang di Istana Presiden pada pagi hari, 19 Desember 1948. Sidang memutuskan bahwa bila terjadi sesuatu pada pimpinan nasional, pemerintah akan memberikan mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Rakyat yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI). Bila pembentukan PDRI juga gagal, akan dibentuk pemerintahan RI di pengasingan. Untuk itu akan diberi kewenangan kepada Mr. A.A. Maramis (Menteri Keuangan), L.N. Palar dan Dr. Sudarsono yang berada di New Delhi, India.
Sebenarnya, dalam sidang juga diusulkan agar para pimpinan tinggi negara mengungsi keluar kota bersama-sama dengan rakyat. Namun, presiden dan wakil presiden memutuskan akan tetap tinggal di kota dengan kemungkinan ditawan. Hal itu dilakukan sebagai titik agar bisa dekat dengan KTN sehingga mudah mengadakan perundingan. Sementara itu, seluruh kekuatan TNI akan ke luar kota dan melakukan perlawanan dengan cara gerilya. Panglima Besar Jenderal Sudirman yang sedang sakit parah memutuskan untuk tetap memimpin perang gerilya.
Wilayah pertahanan RI dibagi dua, yaitu Komando Jawa dan Komando Sumatra. Di Jawa, dibentuk Markas Besar Komando Djawa di bawah pimpinan Kolonel A.H. Nasution, sedangkan di Sumatra dibentuk Markas Besar Komando Sumatra di bawah pimpinan Kolonel Hidayat. Berdasarkan pengalaman sewaktu agresi militer pertama, sistem pertahanan Republik Indonesia diubah dari sistem linier menjadi sistem wehrkreise (lingkaran pertahanan). Di samping itu, pasukan TNI juga diperintahkan untuk melakukan wingate, yang artinya melakukan penyusupan kembali ke daerah yang telah diduduki musuh dan melakukan perang gerilya.
Agresi militer Belanda kedua ini telah menarik perhatian dunia internasional. KTN yang mendapat tugas mengawasi pelaksanaan Prjanjian Renville mengetahui Belanda telah melanggar persetujuan tersebut. Akibatnya, Amerika Serikat mengeluarkan resolusi yang disetujui oleh semua anggota sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) pada 28 Januari 1949.

Resolusi Dewan Keamanan PBB, antara lain berbunyi sebagai berikut :
1.      Penghentian semua operasi militer  dengan segera oleh Belanda dan penghentian semua aktivitas gerilya oleh republik.
2.      Pembebasan dengan segera dan tanpa syarat semua tahanan politik di dalam daerah Republik oleh Belanda.
3.      Belanda harus memberikan kesempatan kepada para pejabat Republik untuk kembali dengan segera ke Yogyakarta. Hal itu dilakukan agar pasal 1 di atas terlaksana dan supaya mereka dapat melaksanakan tugas mereka dengan bebas. Pada tingkat pertama, pemerintah di kota Yogyakarta dan daerah sekelilingnya. Lalu, secara berangsur-angsur, di daerah-daerah republik lainnya berdasarkan persetujuan Renville juga dilakukan penghentian semua operasi militer dan aktivitas gerilya.
4.      Perundingan akan segera dilakukan berdasarkan Persetujuan Linggarjati, Renville, dan pembentukan pemerintahan sementara yang berbentuk federal, paling lambat 15 Maret 1949. Pemilihan dewan pembuat UUD negara Indonesia Serikat paling lambat 1 Juli 1949.
5.      Komisi Tiga Negara diganti namanya menjadi Komisi PBB untuk Indonesia UNCI (United Nations Commisson for Indonesia) dengan tugas membantu kelancaran perundingan berkaitan dengan pengambilan kekuasaan pemerintah Republik, dan menganati proses pemilihan serta berhak mengajukan usulan demi membantu proses penyelesaian.

Amerika Serikat juga mengancam akan menghentikan bantuan kepada Belanda, seperti yang termuat dalam Marshall Plan (bantuan Amerika Serikat kepada negara-negara yang menderita akibat Perang Dunia II).
Atas dorongan UNCI sebagai pengganti KTN, pada tanggal 17 April hingga 7 Mei 1949 diadakan perundingan Roem-Royen yang akhirnya dapat dikatakan sebagai akhir dari Agresi Militer Belanda II.






Sumber: Magdalia, dkk, Sejarah untuk SMA dan MA Kelas XII IPS (Jakarta: Esis), 2007

Pengertian Ideologi


Ideologi atau ideologie (dalam bahasa Perancis) pertama kali dikumandangkan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836) yang hidup pada masa Revolusi Perancis. Ideologi dalam pengertian de Tracy merupakan kritik terhadap ide-ide ataupun keyakinan-keyakinan yang bercorak dogmatik dan tidak rasional. Upaya kritis de Tracy ini tak lepas dari tujuannya untuk mencerahkan dan menunjukan ide-ide yang keliru di masyarakat, karena masyarakat Perancis saat itu masih dilingkupi oleh dogma-dogma agama dan otoritas politik yang absolut (Eagleton, 1993: 64).
Upaya de Tracy mengalami kegagalan karena dalam realitas, ideologi tidak lagi menjadi keyakinan ilmiah tentang ide-ide melainkan sebaliknya, ide-ide itu menjadi idealisme revolusioner. Akibatnya, kajian tentang ide-ide yang seharusnya menjadi kajian rasional telah menjadi ajaran-ajaran ideologis.
Perubahan pengertian ideologi dari suatu ilmu tentang ide menjadi term yang bercorak politis lahir dengan tampilnya tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels dalam The German Ideology (1846). Analisis Marx tentang ideologi bahwa – dalam masyarakat kapitalis yang terpolarisasi antara kelas kapitalis (pemilik modal) dan kelas pekerja – tidaklah berbicara tentang keberadaan atau kenyataan empiris tapi berbicara tentang kemanfaatan, kepentingan dan pamrih. Ideologi merupakan ilusi, pandangan yang menyesatkan tentang dunia, dan kepalsuan (Engels menyebutnya sebagai kesadaran palsu
Dalam pandangan Lenin – seorang pemimpin Revolusi Sosialis Rusia – ideologi merupakan ide-ide yang berasal dari kelas sosial tertentu yang berfungsi untuk mendukung kepentingan-kepentingan kelas tersebut. Dengan kerangka berfikir ini maka baik kaum borjuis maupun proletar memiliki ideologi masing-masing.
Seorang Marxis lain juga mengembangkan pengertian ideologi adalah Antonio Gramsci. Titik tolak kajiannya adalah adanya hegemoni kaum borjuis dalam masyarakat kapitalis. Sistem kapitalis dapat berdiri kukuh karena ditopang oleh ketidaksetaraan kekuatan ekonomi dan politik, serta oleh hegemoni ide-ide dan teori-teori borjuis. Hegemoni borjuis, menurut Gramsci hanya dapat ditentang di tingkat intelektual dan politik melalui penciptaan hegemoni proletariat yang berbasis pada teori, nilai dan prinsip-prinsip sosialis.
Dalam buku Ideology and Utopia (1924), Mannheim mendefinisikan ideologi sebagai sistem pemikiran yang menjadi dasar tatanan sosial. Ideologi juga mengekspresikan kepentingan-kepentingan kelompok penguasa atau kelompok yang dominan di masyarakat.
Mannheim memilah ideologi menjadi dua jenis yakni ideologi partikular dan ideologi total. Ideologi partikular merupakan ide-ide individu atau kelompok tertentu, sedangkan ideologi total mengacu pada weltanschauung atau world view (pandangan hidup) yang diyakini oleh suatu kelas sosial, masyarakat luas dan bahkan berlaku pada suatu periode jaman tertentu.
Menginjak tahun 1960-an hingga kini, kajian tentang ideologi bergeser ke arah analisis ideologi dari perspektif sosial dan politik. Martin Seliger yang menyebutkan bahwa ideologi merupakan seperangkat ide-ide, di mana (melalui ide-ide tersebut) seseorang mampu menjelaskan dan menjustifikasi tujuan serta tindakan sosial yang terorganisir, atau dengan kata lain, ideologi merupakan sistem pemikiran yang berorientasi pada tindakan (Heywood, 1998: 8-11).
Heywood (1998: 12) mendefinisikan ideologi sebagai seperangkat ide yang menjadi basis tindakan politik yang terorganisir. Heywood mengembangkan tiga ciri ideologi yakni:
a)   sebagai world view (pandangan hidup) masyarakat.
b)   sebagai model, visi, cita-cita tentang tatanan masyarakat yang baik di masa depan.
c) sebagai pedoman bagi perubahan-perubahan politik yang seharusnya dilakukan.
Heywood kemudian mengkasifikasikan gejala ideologi ke dalam dua bentuk. Pertama, ideologi dapat dilihat sebagai bentuk pemikiran deskriptif dan normatif,  Kedua, ideologi dapat dilihat sebagai teori politik dan tindakan politik.

Contoh Makalah Analisis Kasus dengan Lima Konsep Hukum



Kisah Seorang Ayah yang Mencuri Roti Untuk Anaknya
(Menganalisis dengan Lima Konsep Hukum)

Oleh: Andika Jaka P


BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Analisis
Di dalam kehidupan bermasyarakat, manusia pasti saling berinteraksi atau berhubungan satu sama lain sebagai makhluk sosial. Setiap Manusia dalam melakukan aktivitas – aktivitas sosial pasti mempunyai kepentingan masing-masing. Dan banyak kepentingan yang bertentangan dengan kehidupan masyarakat yang ada disekitarnya. Hal ini dapat menimbulkan konflik dan perpecahan dalam masyarakat.
Oleh karena itu, dalam hidup bermasyarakat diperlukan adanya  peraturan hidup yang dapat mengatur pola tingkah laku manusia dalam bertindak di dalam masyarakat. Peraturan hidup kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertib dalam masyarakat, dinamakan peraturan hukum atau kaedah hukum.[1]
Menurut J.C.T. Simorangkir,S.H. dan Woerjono Sastropranoto,S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa hukum adalah,
Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh Badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.

Hal ini merujuk pada sebuah kisah yang akan saya analisis, yakni sebuah kisah tentang Seorang Ayah yang mencuri roti untuk anaknya yang menangis terus karena kelaparan dan Si Ayah tersebut tidak berdya karena sudah seminggu menganggur sejak dikeluarkan dari pekerjaannya. Akibat mencuri tersebut, Si Ayah dihukum 8 tahun penjara. Dan sampai pada akhirnya dia akan bertobat.
Oleh karena itu, pada sebuah kisah ini saya akan menganalisis dengan Lima Konsep hukum, diantaranya adalah Konsep hukum klasik, konsep hukum positivisme, hukum dengan konsep sebagai keputusan hakim, hukum dengan konsep sebagai pola perilaku sosial, dan hukum dikonsepkan sebagai simbol-simbol dengan makna interpretasi para perilaku sosial.


  1. Permasalahan
Berawal dari Sebuah keluarga yang Ayahnya baru saja terkena PHK. Kemudian anaknya yang masih bayi sudah semalaman menangis kelaparan karena ibunya tidak dapat menyusuinya karena Si Ibu juga sudah tidak makan dua hari. Melihat hal itu, Si Ayah tidak tega dan keluar rumah untuk mencari makan anaknya, sehingga dia sampai mencuri sebongkah roti dari sebuah toko. Hal itu diketahui Polisi. Dan Si Ayah pun diadili oleh majelis hakim dan diberi hukuman maksimal 8 tahun penjara sesuai dengan pasal 362 KUHP. Setelah bebas dari penjara ia mencuri lagi dengan menganiaya.  Tapi pada akhirnya ia pun sadar lalu bertobat.
Permasalahannya adalah Pertama, apakah Si Ayah berhak ditangkap oleh polisi, kedua Si Ayah diberi hukuman 8 tahun penjarara oleh hakim. Dan yang ketiga, dapat dibenarkankah perilaku Si Ustadz dalam membela Si Ayah dari jeratan hukum lagi, sehingga Si Ayah akhirnya sadar dan bertobat. Dan masih banyak laagi permasalahan-permasalahan yang dapat dianalisis melalui Lima Konsep Hukum ini.
           



BAB II
PEMBAHASAN
Dalam kisah ini terdapat tokoh-tokoh yang dapat dianalisis dengan melalui Lima Konsep Hukum, diantaranya yaitu melalui Konsep Hukum Klasik, Konsep Hukum Positivisme, Hukum dengan Konsep Sebagai Keputusan Hakim, Hukum dengan Konsep Sebagai Pola Perilaku Sosial, dan Hukum Dikonsepkan Sebagai Simbol-Simbol dengan makna interpretasi para perilaku sosial.

  1. Konsep Hukum Klasik
Konsep Hukum Klasik ini berdasarkan atas azaz keadilan yang dipercaya bernilai universal dan menjadi bagian inheren system hukum. Aliran hukum klasik melihat kejahatan adalah hasil dari perbuatan berdasarkan kebebasan moral. Beberapa ahli teori klasik menegaskan bahwa kejahatan merupakan kesalahan dan harus bertanggungjawab secara moral, untuk itu pelanggar harus menerima hukuman yang sesuai dengan nilai moral yang hidup di masyarakat sebagai suatu tindakan pembalasan atas tindakan kejahatan yang telah dilakukannya.[2]
Dalam kisah kasus ini, pencurian roti yang dilakukan seorang Ayah demi untuk memberi makan anaknya yang sudah semalaman menangis kelaparan  itu merupakan perbuatan yang terpaksa karena keadaan yang tidak diinginkan. Dan jika mengacu pada konsep ini, Si Ayah sebagai pelaku pencuri roti harus bertanggung jawab secara moral atas kesalahan yang telah ia perbuat. Dan bentuk hukuman yang diberikan sesuai dengan nilai moral yang ada dalam masyarakat, seperti mendapatkan sanksi sosial berupa pengucilan, membayar denda, dan lain-lain. Selain itu juga perlu adanya pertanggungjawaban moral dengan bentuk permintaan maaf Si Ayah kepada pemilik toko roti yang ia curi tersebut. Hal ini dapat melalui dengan cara mediasi dari pihak kepolisian ataupun secara kekeluargaan.

  1. Hukum dengan Konsep Positivisme
Hukum dengan norma-norma undang-undang positif yang berlaku umum in Abstracto pada suatu waktu tertentu dan di wilayah tertentu. Menurut hukum positivistik, hukum sama dengan norma-norma positif yaitu norma yang dibuat oleh badan legislasi yang dianggap sebagai hukum umum seperti undang-undang.
Hukum menurut konsep ini adalah apa yang ada menurut undang-undang, bukan apa yang seharusnya ada dalam hukum. Jadi, hukum dalam konsep positivisme  mengabaikan nilai-nilai kebenaran, moral, kesejahteraan, bahkan terkadang jauh dari kata keadilan.[3]
Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum positivisme berpegang teguh pada peraturan hukum yang diakui oleh Negara, yaitu seperti undang-undang. Jadi, seseorang dapat dihukum jika seseorang tersebut melakukan suatu perbuatan yang dianggap melanggar peraturan hukum atau undang-undang.
Bila kisah ini di analisa melalui konsep ini, maka jika dilihat dari Si polisi yang menjalankan tugasnya secara konsekuen dan professional sebagai aparat penegak hukum itu dinilai sudah tepat ketika Si polisi menangkap Si Ayah (lelaki buruh) itu mencuri sebongkah roti, karena perbuatan itu merupakan bentuk kejahatan suatu tindak pidana dan melanggar undang-undang yang berlaku, yaitu melanggar pasal 362 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900.”[4] Apalagi polisi dalam melakukan penangkapan tersebut, juga didsarkan adanya barang bukti yaitu sebongkah roti yang dicuri tersangka (Si Ayah).
Tindakan polisi yang kedua juga sudah tepat dalam menangkap dan mengintrogasi Si Ayah(lelaki buruh) yang sebenarnya mencuri barang-barang Si Ustadz tersebut adalah sebuah tindakan preventif akan terjadinya tindak kriminal ataupun pelanggaran hukum. Hal ini dilakukan polisi karena Si polisi curiga terhadap barang-barang yang dibawa Si Ayah yang dibungkus dengan selimut tersebut. Meskipun pada akhirnya Si Ayah tidak terbukti mencuri karena adanya pembelaan Si Ustadz.
      Dan mengenai tentang tindakan hakim yang memutuskan terdakwa (Si Ayah) bersalah dan diberi hukuman penjara karena telah melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian itu saya rasa kurang tepat, karena sesuai dengan pasal 183 KUHAP yang isinya menyebutkan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah…”[5]
Dari kutipan penjelasan diatas, sudah jelas bahwa hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman pidana kepada Si Ayah (lelaki buruh) tersebut, karena hanya ada satu alat bukti yaitu sebongkah roti. Berarti dua alat bukti yang telah disebutkan dalam pasal 183 KUHAP tersebut tidak dapat terpenuhi. Jadi dalam keadaan seperti ini sebenarnya Si Ayah tersebut dapat bebas dari hukuman pidana atau penjara.
Tetapi, dalam pandangan lain sebenarnya Hakim juga benar dalam/dapat menjatuhkan pidana kepada Si Ayah karena melanggar pasal 362 KUHP tersebut. Karena yang pada  awalnya tidak terpenuhinya dua alat bukti yang sah, karena hanya ada satu alat bukti berupa sebongkah roti, ini sebenarnya dua alat bukti tersebut dapat terpenuhi dengan adanya keterangan dari Si polisi yang waktu itu menangkap dan mengetahui ketika Si Ayah mencuri roti. Hal ini sesuai dengan pasal 184 KUHAP yang dalam isinya adalah “Alat bukti yang sah ialah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa”.[6] Dengan ini, dua alat bukti tersebut sudah terpenuhi karena adanya alat bukti berupa sebongkah roti dan keterangan saksi oleh polisi tersebut.
Dan jika kita berbicara mengenai moral dan keadilan dri kisah ini yang didasari melaluai konsep positivisme ini, sungguh jauh dari kata-kata moral dan keadilan. Hal ini dapat kita lihat dari keputusan Si hakim dalam memberi hukuman maksimal 8 tahun penjara. Meskipun memang Si Ayah tersebut benar terbukti melanggar hukum karena mencuri roti, tapi dengan menghukum 8 tahun penjara tersebut sungguh tidak sebanding dengan apa yang diperbuatnya. Padahal dalam kasus ini, sudah dijelaskan diatas bahwa hukuman maksimal lima tahun, tapi hakim telah memutuskan untuk menjatuhkan hukuman lebih dari hukuman maksimal lima tahun tersebut. Terlepas dari adanya hak hakim dalam memutuskan perkara atau membuat dan menciptakan hukum sendiri diluar undang-undang dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu (yurisprudensi) tersebut, saya berpandangan bahwa hakim dalam kasus ini telah mengesampingkan nilai-nilai moral dan keadilan. Sehingga keputusan hakim dalam kasus ini dinilai tidak adil.

  1. Hukum dengan Konsep Sebagai Keputusan Hakim.
Konsep ini merupakan seluruh keputusan hakim “in Concerto” sebagaimana yang tercipta dalam proses-proses pengadilan (judge made law). Keputusan hakim ini sering disebut Yurisprudensi. Yurisprudensi merupakan sumber hukum dalam arti formil yang didasarkan atas suatu kenyataan bahwa sering kali terjadi hakim memutuskan suatu perkara yang tidak langsung didasarkan atas suatu peraturan hukum atau undang-undang yang sudah ada.
Menurut pasal 22 A.B.(Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie) : “Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili”.[7]
Dari penjelasan diatas, kita tahu bahwa seorang hakim mempunyai hak untuk membuat atau menciptakan peraturan sendiri apabila di dalam undang-undang ataupun kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya dalam memutuskan suatu perkara. Keputusan inilah yang disebut Yurisprudensi, dan jika dikemudian hari ada suatu perkara yang serupa, maka keputusan hakim ini atau yang terdahulu itu dapat dijadikan dasar keputusan yang sama pula oleh hakim lain terhadap suatu perkara atau masalah yang sama.
Menurut konsep ini, dalam kisah ini terletak pada seorang majelis hakim yang  menerapkan ketentuan undang-undang negara demi kepastian hukum, dengan keyakinan bahwa hukum harus ditegakkan tanpa kompromi tersebut dengan memberikan hukuman penjara terhadap Si Ayah(lelaki buruh) yang mencuri sebongkah roti tersebut. Padahal, dalam pasal 362 KUHP telah dijelsakan bahwa pencurian ini hanya termasuk ‘pencurian biasa’ dan dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. Tetapi  hakim disini dalam memberi hukuman yang maksimal 8 tahun tersebut, tentunya Si hakim juga mempunyai alasan ataupun pertimbangan tersendiri dalam memutuskan suatu perkara. Yang menjadi pertimbangan hakim tersebut yaitu hakim menganggap bahwa roti yang dicuri itu termasuk barang dagangan yang terbilang penting bagi kepentingan orang banyak dan belum menjadi barang penting untuk perseorangan. Inilah yang menjadi alasan Si hakim untuk memberi hukuman maksimal kepada Si Ayah.

D. Hukum dengan Konsep Sebagai Pola Perilaku Sosial
Menurut Aliran Sosiologis Hammaker, Eugen Ehrlich dan Max Weber Hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Dan hukum merupakan gejala masyarakat, karena perkembangan hukum itu sesuai dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat.
Hukum dengan konsep sebagai pola perilaku social yang dimaksud adalah hukum sebagai institusi social yang riil dan fungsional di dalam system kehidupan bermasyarakat. Dalam konsep ini hukum tersimak dalam wujud manifestasi yang actual sebagai perilaku manusia dalam kehidupan mereka yang riil dalam masyarakat (law as it is in society) dan hal ini banyak dikaji dalam Sosiologi Hukum.
Dan bagi orang-orang yang menganut konsep sosiologi hukum tidak boleh bersifat apriori dengan arti seperti pada pelaku suatu tindak pidana tidak bisa dimaknai sebagai orang yang selalu jahat. Hal ini mengacu pada kisah ini, yaitu bahwa Si Ayah(lelaki buruh) yang mencuri roti dan mencuri barang-barang Si Ustadz tersebut bukanlah orang yang jahat ataupun orang yang berjiwa kriminal, tetapi Si Ayah melakukan hal tersebut karena ingin memenuhi kebutuhan anak dan keluarganya untuk bertahan hidup. Perbuatan ini juga dikarenakan oleh keterpaksaan adanya keadaan social yang tidak memungkinkan. Dan seharusnya perkara biasa seperti ini tidak harus sampai ke ranah hukum, tapi cukup diselesaikan dengan cara damai ataupun kekeluargaan, dan biarkan masyarakat memberikan sanksi social yang berlaku dalam masyarakat, dan tentunya juga dalam pengawasan pihak kepolisian.
Tetapi dalam kasus tersebut, Si Ayah diberi hukuman penjara dengan hukuman maksimal 8 tahun. Padahal apa yang dilakukan oleh Si Ayah ini tidak sebanding dengan sanksi hukum yang diterimanya. Dalam konsep sosiologi, hal tersebut telah jauh dari nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Selanjutnya, disisi lain, peran aparat penegak hukum disini, dalam hal ini polisi dan hakim adalah sebagai kontrol atau pengendali social terhadap fenomena atau tingkah laku manusia dalam masyarakat. Ini dilakukan seperti saat polisi menangkap Si Ayah yang sedang mencuri roti, dan Si hakim yang memberi hukuman penjara kepada Si Ayah. Hal ini bertujuan sebagai peran dan fungsi dari pengendalian sosial, agar Si Ayah dapat sadar dan merubah tingkah atau pola perilaku sosialnya dalam bermasyarakat.

  1. Hukum Dikonsepkan Sebagai Simbol-Simbol dengan Makna yang Tercipta Sebagai Hasil Interpretasi (Individual atau Kolektif ) Para Pelaku Sosial.
Dalam konsep ini, hukum bukan norma positif yang tertuang dalam undang-undang, tetapi terinterpretasi dalam mereka yang awam dan terekam dalam benak-benak para pelaku social. (law as it is in human interaction).
Jika kisah ini dianalisis menggunakan konsep ini, maka mengacu pada perilaku Si Ustadz yang mencoba menolong seseorang yang malang (Si Ayah) tetapi berani-beraninya ia meberikan keterangan atau kesaksian palsu kepada seseorang hamba hukum (polisi) tersebut.
Hal ini dilakukan Si Ustadz karena ia tahu dan merasa iba, karena Si Ayah tersebut tidak punya apa-apa dan ia ingin segera pulang menemui keluarganya yang lama terpisah dan ingin membangun kembali kehidupan yang baru bersama keluarganya tersebut. Karena yang dialkukan Si Ustadz ini mulia dan semi tujuan yang baik, Si Ayah(lelaki buruh) tersebut sadar akan kesalahan yang diperbuatnya selama ini, lalu ia meminta maaf dengan memeluk kaki Si Ustadz tersebut dan menyerukan niat bertobat dengan memohon ampunanNya.
Perbuatan Si Ustadz yang sangat mulia ini merupakan murni muncul dari benak pikiran dan hatinya untuk mengikhlaskan barang-barang yang diambil Si Ayah tersebut karena merasa iba dan ingin melindungi Si Ayah dari jeratan hukum walaupun dengan cara yang salah, yaitu melindungi atau menyembunyikan orang yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum.




BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Dalam kehidupan bermasyarakat, perlu adanya suatu norma-norma atau peraturan hukum yang dibuat sebagai kontrol social dalam menentukan pola dan tingkah laku yang dilakukan manusia dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Karena peraturan hukum yang dibuat itu bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh mentaatinya, maka tujuan dari dibentuknya peraturan hukum itu sendiri adalah demi menjamin keseimbangan dan kelangsungan dalam berhubungan antar masyarakat serta untuk menjamin adanya kepastian hukum demi keadilan.
            Pada dasarnya hukum dan keadilan itu tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi dengan adanya Lima Konsep Hukum tersebut, masing-masing mempunyai pandangan hukum tersendiri. Diantaranya ada yang berpandangan hukum mengacu pada peraturan hukum yang berlaku dan terkadang mengesampingkan rasa keadilan (Positivisme), hukum berdasarkan moral (klasik), hukum dibuat dan diputuskan berdasarkan keputusan hakim (yurisprudensi), hukum sebagai perilaku social atau sosiologi hukum yang berpandangan bahwa orang yang melakukan kejahatan tidak dapat dikatakan atau dilabeli sebagai orang jahat, karena menilai dari berbagai sisi social/latar belakang, dan sebagai symbol dengan makna yang tercipta sebagai interpretasi individual atau kolektif yaitu bisa berasal dari hati nurani pelaku social.
            Melihat dari kisah kasus ini, memang Negara Indonesia menganut hukum positif/positivisme. Tujuannya adalah ingin mencapai kepastian hukum, dan hukum yang berdasarkan undang-undang ataupun berdasarkan pada sumber-sumber hukum formal, termasuk Yurisprudensi. Di luar ketentuan tersebut, itu bukan merupakan hukum. Jadi hukum harus ditegakkan tanpa melihat dari adanya unsur sosial, ekonomi, politik, bahkan kekuasaan sekalipun.
            Oleh karena itu, dalam kasus ini Si Ayah tetap dihukum dengan hukuman penjara maksimal 8 tahun karena melanggar hukum, meskipun hanya mencuri sebongkah roti demi memberi makan anaknya yang menangis kelaparan. Sehingga hukum harus ditegakkan dan Si Ayah harus menjalani proses hukum yang berlaku.
            Tetapi, perkembangan hukum harus juga mengikuti perkembangan yang ada di tengah masyarakat, sehingga pranata/peraturan hukum yang ada dapat mengatasi semua masalah hukum dengan adanya kepastian hukum, tanpa mengenyampingkan nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat.

DAFTAR REFERENSI

Drs. C.S.T. Kansil,S.H. , Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , Balai Pustaka, Jakarta, 1984
Samidjo, S.H. , Pengantar Hukum Indonesia, CV.ARNICO, Bandung, 1985
Hartono Hadisoeprapto,S.H. Pengantar Tata Hukum Indonesia (PTHI), Liberty, Yogyakarta, 1982
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, 1999
Johni Najwan, S.H., M.H., Ph. D., Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum (Jurnal)
http://hukum.kompasiana.com /materi-sosiologi-hukum-awal-pengantar.html
https://negarahukum.com
Syaiful Bakhri, Pengaruh Aliran-Aliran Falsafat Pemidanaan dalam Pembentukan Hukum Pidana Nasional, Jurnal Hukum  NO. 1 VOL. 18 Januari 2010: 136 – 157.




[1] Drs.C.S.T. Kansil,S.H. , Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 34
[2] Paul W. Tappen, Juvenile Deliguency, Mc. Graw Hill Book Company Inc, New York 1949, hlm. 30.
[3] Johni Najwan, S.H., M.H., Ph. D., Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum, hlm. 24
[4] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang HUKUM PIDANA serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1976
[5] Dikutip dari KUHAP LENGKAP, PT Bumi Askara, Jakarta, 2001, hlm. 77
[6] Idem
[7] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 49


Semoga bermanfaat.....